Langsung ke konten utama

Memaknai Gelar Pahlawan


Tidak terasa hari ini, tepatnya pada tanggal 10 November, rakyat Indonesia sedang memperingati Hari Pahlawan. Seperti kita ketahui, Hari Pahlawan merupakan simbol sejarah heroik mempertahankan Kota Surabaya demi mempertahankan dan ‘memamerkan’ eksistensi NKRI yang baru tiga bulan merdeka. Simbol heroik itulah yang melatarbelakangi lahirnya simbol Hari Pahlawan.

Di saat simbol itu telah terpancang, maka simbol itu akan terus ada berdiri. Hanya saja, simbol itu kini semakin usang. Pengulangan justru membuat Hari Pahlawan serasa dingin untuk diperingati, maknanya semakin kering, cat kegagahan pahlawan semakin mengelupas. Tradisi pemberian gelar Pahlawan Nasional, hanya dirasakan sebagai formalitas belaka. Gelar Pahlawan, tak ayal, hanya simbol formal yang justru menggerus makna dibanding mengembangkan simbol ksatria dan kegagahan mempertahankan bangsa.

Memang, mekanisme pemberian gelar pahlawan (tepatnya gelar pahlawan nasional) telah diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, pertanyaan masih ganjal di dalam sanubari: apakah kita sudah memaknai gelar pahlawan justru semakin dijadikan pengulangan dari simbol yang keropos? Bukankah para Pahlawan yang diberi gelar itu membawa simpul dan kompleksitas sejarah yang berbekas hingga kini? Apa yang mereka perjuangkan justru terkungkung oleh gelar Pahlawan itu sendiri

Pahlawan dan Polemik

Berbicara tentang pahlawan, maka tidak akan pernah terlepas dari tindakan, kontribusi dan jasa yang telah diberikannya bagi bangsa dan negara. Bila merujuk pada UU No. 20/2009, jelas bahwa pemberian gelar pahlawan adalah bagi mereka yang berjasa mempertahankan dan membela bangsa dan negara dengan seluruh jiwa raganya maupun menciptakan karya besar bagi kemaslahatan bangsa dan negara.

Akan tetapi, apabila kita mempelajari sejarah di bangku sekolah, pahlawan seringkali hanya menjadi hafalan tanpa adanya penceritaan sejarah. Penceritaan sejarah mengenai tokoh pahlawan, meski mungkin hanya dapat dijelaskan beberapa, tentu akan menggugah pelajar untuk meneladani apa yang telah dilakukan oleh para pahlawan. Sehingga, pampangan gambar pahlawan (yang ironisnya sebagian seringkali bersifat imajinasi!) tidak sekadar hiasan belaka.

Penceritaan sejarah yang mengalir dan menggugah, akan membuat pelajar semakin penasaran, seperti apa sang pahlawan yang patut diteladani ini hidup. Ini merupakan suatu jalan masuk kepada jalannya sejarah bangsa. Sejarah bangsa, dengan pahlawan-pahlawan yang tercatat, tentu memiliki dinamikanya, bahkan konflik antar-pahlawan. Konflik dan dinamika sejarah bangsa dari para aktor sejarah (dalam hal ini pahlawan) tentu memberikan suatu pelajaran berharga, begitu rumitnya perjuangan mencapai dan mempertahankan bangsa ini hingga sekarang.

Pahlawan yang semasa hidupnya memberikan kontribusinya kepada bangsa, tidak bisa lepas dari segala polemik. Bahkan, pemberian gelar pahlawan pun tidak sembarangan dan bila tokoh kontroversial yang akan diberikan, tentu menimbulkan polemik ganda: polemik sejarah dan polemik pemberian gelar. Kita tentu tidak menghindari berbagai polemik dalam sejarah berdirinya bangsa ini, seperti polemik antara Soekarno dan Hatta baik di masa pergerakan pada dekade 1930-an yang saat itu berada pada kelompok politik pergerakan masing-masing (Partindo vis a vis PNI Baru).

Tidak hanya itu, polemik antara Soekarno-Hatta dengan Tan Malaka-Soebardjo-Soedirman sebagai pihak oposan yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan (PP) pada bulan-bulan di tahun 1946 menimbulkan pergesekan politik yang panas pertama dalam sejarah berdirinya NKRI. Polemik ini akan semakin banyak bila kita merunut pada perjalanan sejarah yang lebih luas, seperti antara Abikusno Tjokrosoejoso dengan H. Agus Salim dalam menentukan sikap PSII pada tahun-tahun 1930 pasca-wafatnya Tjokroaminoto. Bahkan Tjokroaminoto pun tidak lepas dari polemik (yang dapat dikatakan tidak sehat) dengan anggota SI, yang juga tergabung ke dalam PKI, seperti Semaun, Darsono, dan Tan Malaka. Bahkan, tidak jarang tuduhan kepada Tjokro seperti ‘penilepan duit’ kas anggota-anggota SI menjadi goresan pertama dari seorang tokoh pahlawan sebesar Tjokro.

Di sisi lain, ada juga para tokoh yang memang memberi kontribusi besar namun akhirnya justru dicap sebagai pengkhianat. Ambil contoh dalam polemik antara Sultan Hasanuddin dari Makassar dan Arung Palakka dari Bone. Selain itu, tidak lupa kepada Amir Syarifuddin, tokoh pergerakan dan sempat menjadi Perdana Menteri menggantikan Sutan Syahrir,  pada akhirnya memang hingga akhir hayatnya dicap sebagai pengkhianat pasca-Peristiwa Madiun 1948. Juga Sultan Hamid II, selaku pencipta Lambang Garuda Pancasila, juga sebagian dicap sebagai pelaku Pemberontakan APRIS bersama Westerling tahun 1950-an (meski kini mulai ada usaha pembersihan nama baiknya).

Pahlawan, polemik dan dinamika sejarah bangsa tidak akan pernah lepas, karena justru perjuangan tanpa adanya polemik tidak akan pernah melahirkan dinamika. Bangsa yang besar adalah bangsa yang telah berhasil mengatasi polemik dan berdinamika. Para pahlawan adalah mereka yang, selaku aktor sejarah, berhasil mengatasi segala aral rintangan tersebut, meskipun tidak dapat dinilai secara hitam-putih. Dan sejarah adalah warna yang kaya dan beragam. Tan Malaka agaknya benar dengan kata-kata ‘revolusionernya’: Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.
Simpul Eksistensi Bangsa.

Gelar Pahlawan, dengan kata lain, bukan sekadar gelar yang diberikan kepada seseorang melalui mekanisme hukum yang sudah ditentukan sebelumnya. Perjuangan dibaliknya merupakan suatu hal yang lebih besar dibanding gelar itu sendiri. Di sisi lain, Pahlawan tidak dapat ditafsirkan secara linear-sama-rata, namun memiliki dinamika yang naik turun dan terkadang kontroversial. Jadi, pertanyaan bagi mereka yang mulai menemukan sejarah bangsanya: mengapa mereka disebut pahlawan? Bukankah banyak juga pahlawan-pahlawan yang justru mengorbankan jiwa raga mereka, hilang ditelan nasib, menyatu dengan debu, justru tidak mendapatkan gelar pahlawan?

Agaknya, kita perlu meluruskan pengertian kita akan gelar pahlawan. Pahlawan memang hanya suatu simbol belaka, namun itulah hadiah, bonus, fadhilah bagi mereka. Gelar itu justru jalan masuk untuk mendalami dinamika bangsa dilihat aktor sejarah yang diberi gelar pahlawan tersebut. Usaha, darmabakti, dan jasanya, justru telah menciptakan simpul bagi hidup dan eksistensi bangsa yang merdeka. Mereka yang berkalang tanah dan rela bertaruh nyawa demi merdeka dan bebas dari kungkungan. Merdeka atau mati.

Simpul eksistensi tersebut, bagi para penerus bangsa yang telah dipertahankan para pahlawan pendahulu, tentu memberikan suatu gambarang penting bagi kehidupan bangsa di masa depan. Sebagai ahli waris, tentu anak bangsa perlu untuk melihat sejarah bangsanya. Para pahlawan yang bergelar bukan sekedar simbol belaka, tapi suatu tanda terhadap susahnya mendirikan negara ini. 

Sayangnya, justru karya para pahlawan itu ternodai dengan persaingan politik yang semakin tidak keruan, jangankan untuk mengingat tujuan bangsanya berdiri, tujuan bangsa itu pun menjadi bahan politis untuk mengenyangkan perut bengkak para politisi! Oleh karenanya, gelar pahlawan kini justru semakin kehilangan maknanya. Dan makna itu harus dikembalikan bagi pelajaran bangsa ini, untuk perbaikan bangsa ini kedepannya, hingga kiamat menjelang.[]


Oleh: Kiagus Muhamad Iqbal 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

APA DAN BAGAIMANA SETELAH MASUK HMI? (Sesi Wawancara dengan Ketum HMI Cabang Bogor)

                    Pada kesempatan ini kami sengaja kembali menghadirkan sesi wawancara khusus dengan ketua umum HMI Cabang Bogor periode 2013-2014, Bang Qiki Qilang Syachbudy. Wawancara ini sengaja dilakukan karena banyaknya pertanyaan baik dari kader ataupun masyarakat umum tentang apa dan bagaimana yang harus dilakukan setelah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Berikut adalah wawancaranya.

Pilkada Kabupaten Bogor 2018, HMI Bersikap Netral

Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor, Joni Iskandar, menyampaikan agar seluruh kader HMI cabang Bogor  bersikap netral dalam pemilihan kepala daerah serentak yang akan digelar pada Rabu, 27 Juni 2018. Ajakan tersebut disampaikan di Gedung Serbaguna Mahasiswa Islam (GSMI), sekretariat HMI Cabang Bogor, Selasa (26/06). "Kader HMI harus bersikap netral sebagai bentuk pengejawantahan independensi organisatoris. Tidak dibenarkan jika kader HMI melakukan komitmen dalam bentuk apapun dengan pihak luar, apalagi ikut andil dalam politik praktis memenangkan satu kandidat," ungkap Joni. Dalam kesempatan tersebut Joni juga meminta kepada seluruh penyelenggara pemilu dan pihak keamanan agar menjalankan kewajibannya sesuai amanat yang sudah diberikan. "Kami meminta kepada semua aparatur negara dan pihak keamanan  menjalankan tugasnya dengan baik dalam mengawal pemilu demi terwujudnya Pilkada damai dan bersih," pungkas Joni mengakhiri.

SEKOLAH MENULIS, ARISAN BACA, DAN FLD?

  Judul di atas memang menarik untuk dibahas pada kesempatan ini mengingat kita sama-sama tahu bahwa HMI Cabang Bogor harus terus eksis dalam mencetak kader-kader militan ummat dan bangsa.