sumber: |
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane dan kawan kawan pada
tahun 1947 yang dilatar belakangi rasa keprihatinan melihat umat islam dan
bangsa yang terkotak-kotak dalam beberapa golongan. Setidaknya ada 3 hal yang
menjadi kata kunci menjelang lahirnya HMI, yakni umat, bangsa dan mahasiswa.
Pada awal mula HMI berdiri banyak
mahasiswa yang beranggapan bahwa Lafran Pane hendak memecah gerakan mahasiswa.
Namun hal itu ditanggapi Lafran Pane dengan memberikan dialog serta penyadaran
betapa pentingnya ideologi, politik dan organisasi pada organisasi islam.
Kebutuhan untuk membuat gerakan mahasiswa yang berbasiskan keislaman begitu
urgent saat itu. Islam begitu asing di dunia kampus dan sangat jarang mahasiswa
islam yang membahas islam itu sendiri di kampus. Atas fenomena inilah HMI lahir
untuk menjawab kekeringan ghiroh keislaman di dunia kampus.
HMI sekalipun organisasi yang
berasaskan islam namun tidak bertujuan untuk mendirikan negara islam. Karena
HMI tidak menolak pancasila bahkan ingin mewujudkan nilai-nilainya dalam
kehidupan bernegara. HMI dikenal dengan trikomitmenya, “keislaman,
keindonesiaan, dan kemahasiswaan”. Ketiga hal inilah yang membuat HMI tidak
fanatis terhadap satu golongan agama secara sempit, serta menanamkan sifat
nasionalisme pada diri kader sebagai aktualisasi dari wawasan kebangsaan.
Ciri khas HMI sebagai
organisasi mahasiswa islam yang berkomitmen pada keislaman dan kebangsaan,
mampu menarik minat para mahasiswa islam untuk bergabung dan menggalang gerakan di dalamnya saat ituu. Tak pelak, dalam kurun waktu beberapa tahun HMI sudah meyebar di
berbagai daerah sekitar Yogyakarta, untuk kemudian merambat ke daerah antar
pulau di Indonesia.
Perpecahan di kalangan mahasiswa
bukanlah hal yang tabu. Karena pada dasaranya mahasiswa berdiri dari corak
pondasi dan sudut pandang yang beragam dengan dasar kebebasan berfikir. Bisa
dikatakan perpecahan merupakan fitrah dan sebuah keniscayaan bagi organisasi
yang beranjak besar, bila tidak mau dikatakan bagian dari siklus organisasi.
Lahir, besar, dan pecah. Tak heran jika kemudian HMI juga mengalami perpecahan.
Karena ada begitu banyak mahasiswa yang barnaung di HMI, dan secara otomatis
juga berpengaruh terhadap banyaknya prspektif dalam membaca realitas. Apalagi
di HMI memang di tempa untuk berfikir secara mandiri, tidak adanya penyeragaman
pemahaman dan sejenisnya.
Perpecahan ini bermula ketika
orde baru melakukan politik pernyeragaman asas. Seluruh organisasi massa
(ormas) harus menjadikan pancasila sebagai asas tunggal dalam aturan main
organisasi. Tak pelak hal ini menuai pro-kontra di kalangan HMI. Kalangan yang
pro beranggapan bahwa ini bukan indikasi dari ke-manutan HMI terhadap
pemerintah melainkan sebuah taktik agar HMI tidak dibubarkan, karena pilihannya
saat itu, jika tidak memakai pancasila sebagai asas organisasi, maka akan
dibubarkan. Sedangkan golongan yang kontra terhadap pemberlakukan asas tunggal
memilih kukuh mempertahankan islam sebagai asas organisasi, karena bagi mereka
islam-lah satu-satunya ideologi yang mereka anut.
Perbedaan ini semakin terlihat
ketika Kongres HMI XVI di kota Padang tahun 1986. HMI terpecah dua menjadi HMI
Dipo (berdasarkan alamat sekretariat di jalan Diponogoro) yang mendukung
Pancasila sebagai asas organisasi dan HMI MPO (majelis penyelamat organisasi)
yang lebih memilih islam sebagai ideologi organisasi sekalipun harus menjadi
oposan pemerintah. Inilah saat pertama kali pengistilahan HMI Dipo dan MPO
muncul.
HMI MPO menganggap bahwa HMI Dipo
sebagai penghianat organisasi sementara HMI Dipo sendiri mengaggap bahwa HMI
MPO sebagai pemberontak dan merupakan sempalan dalam HMI. HMI Dipo dinilai
lebih moderat karena mau menggunakan taktik menerima asas tunggal, sedangkan
HMI MPO dinilai lebih fundamental karena lebih memilih berhadap-hadapan dengan
pemerintah. Perbedaan inilah yang terus dipelihara HMI sampai kurun waktu yang cukup lama. Hal ini jugalah
yang menjadikan HMI MPO sebagai organisasi underground saat itu, sampai
kemudian gerakan reformasi terjadi pada tahun 1998 dan mejadi tonggak awal
kemunculan HMI MPO ke permukaan pergerakan mahasiswa secara terang terangan.
Paska gerakan reformasi dan
pelengseran suharto, asas tunggalpun
tidak diberlakukan lagi. Karena dirasa tidak ada pemeritah yang akan menekan
atau mungkin membubarkan lagi, akhirnya HMI Dipo kembali menggunakan islam
sebagai asas organisasi, tepatnya pada tahun 1999. Lalu, bagaimana kelanjutan
dari perpecahan HMI yang dilatarbelakangi pemberlakuan asas tunggal?
Walaupun sudah sama-sama
menjadikan islam sebagai asas organisasi, kedua pihak sulit dipersatukan
kembali. Rentang pemberlakuan asas tunggal bukanlah waktu yang singkat,
sehingga kultur yang terbangunpun sangat kontras. Mulai dari perbedaan AD &
ART sampai pola perekrutan. HMI Dipo menjadikan Nilai Dasar Perjuangan sebagai
landasan perkaderan sedangkan HMI MPO memakai Khittoh Perjuangan sebagai
landasan perkaderan. Semantara itu ego organisasi yang merasa besar dengan
sejarahnya masing-masing menjadikan kedua pihak sulit bertemu kesepahaman.
Oleh Joni Iskandar
Kabid Pembinaan Anggota
Periode 2013-2014
Oleh Joni Iskandar
Kabid Pembinaan Anggota
Periode 2013-2014
Bagaimana cara supaya perpecahan itu tidak terjadi terus menerus?
BalasHapusTangki Fiberglass
Mohon maaf kanda.. menurut dinda, yg dinda pahami HMi dipo lah yg tak merubah asas, yakni tetap Islam.. tpi MPo lah yg mengganti dgn pancasila.. di tulisan kakanda itu terbalik spertinya.. maaf jika salah kanda
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus