Kita yang cinta akan
negara Indonesia tentulah tidak akan lupa dengan peristiwa awal permulaan
dimulainya era reformasi pada tahun 1998. Pada tahun tersebut semuanya setuju
bahwa dengan berakhirnya rezim Orde Baru maka kita akan segera menyongsong
kehidupan baru yang lebih baik,lebih terbuka dan lebih sejahtera.
Cerita
terus berlanjut, sampailah kita bangsa Indonesia pada tahun 2011. Dengan tahun
2011 ini berarti kita bangsa Indonesia telah berada di alam reformasi selama
hampir 13 tahun. Maka sudah layaklah sekiranya kita bersama melakukan
introspeksi diri terhadap perjalanan bangsa ini. Apakah sudah sesuai dengan
semangat dan harapan kita pada waktu menggelorakan semangat perubahan pada
tahun 1998 ataukah malah justru perjalanan ini perlu sebuah reinterpretasi
kembali secara menyeluruh?
Perubahan
memang selalu ada. Walaupun sedikit tapi hal itu terus menjadi konsen di selama
lima periode kepemimpinan setelah Orde Baru collapse.
Perbaikanpun dinilai selalu ada. Tetapi yang menjadi kegelisahan rakyat itu
bukanlah ada atau tidak adanya sebuah perbaikan. Yang ditanyakan rakyat adalah
sebesar apa kesungguhan pemerintah dalam melakukan perubahan itu dan sebesar
apa perubahan itu dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Jawaban-jawaban
yang dipertanyakan rakyat itu sebenarnya sedikit demi sedikit terungkap dan
terjawab dengan maraknya pemberitaan di media-media massa. Dari
pemberitaan-pemberitaan itulah setidaknya rakyat yang jauh dari sistem sudah
bisa mengamati. Meskipun bagi rakyat kecil belum bisa menyimpulkannya, tetapi
setidaknya mereka merasakan ketidak pastian hidup yang berujung pada
keputusasaan dan perbuatan-perbuatan nekad yang berimbas kepada tindakan
kriminal.
Semakin
terlihatnya oknum-oknum yang melakukan penyimpangan, seperti misalnya jual beli
keadilan, jual beli suara, politik dagang sapi, korupsi, kolusi dan nepotisme
di Indonesia sebetulnya bukanlah disebabkan oleh karena undang-undang hukumnya
tidak ada atau tidak jelas. Tetapi hal ini diakibatkan oleh orang-orang yang
menjalankan hukum dan perundang-undangan tersebut. Bangsa ini sepertinya sudah
keranjingan sifat egoisme nasional yang pada akhirnya menyebabkan keserakahan
nasional.
Dengan
kata lain negara ini sudah tidak lagi memiliki keteladanan nasional. Moral
hazard ini sangat kompleks dan sistemik, dari ujung sampai akarnya seperti
perlu lagi pemupukan nasional. Kuncinya adalah perbaikan moral orang
perorangnya yang harus segera dibenahi. Yaitu dengan cara penyadaran secara
nasional. Tapi bagaimana caranya? Menurut Cak Nur katanya rakyat Indonesia
perlu melakukan taubat secara nasional. Tetapi menurut hemat penulis, selain
taubat nasional juga para pemimpin negeri ini perlu melakukan pembacaan ulang
terhadap kisah-kisah orang besar yang bukan hanya besar namanya, tetapi besar
karena kebesaran jiwa dan kebesaran cita-citanya untuk membangun bangsa.
Kepemimpinan rakyat yang selalu menitik beratkan kepada kemaslahatan bersama
dan tanpa mengedepankan egonya masing-masing inilah yang kiranya belum tampak
dari perjalanan era reformasi ini.
Kepemimpinan
rakyat yang seperti demikian itu tidaklah mustahil keberadaannya di Indonesia.
Kepemimpinan rakyat yang demikian itu sebenarnya bisa kita lihat dari seorang
sosok yang bernama Haji Agus Salim.
Haji
Agus Salim dilahirkan pada tanggal 8 Oktober 1884 di kota Gedang Bukit Tinggi. Ia
adalah anak keempat dari Sutan Moehamad Salim, seorang jaksa pada sebuah
pengadilan negeri. Pada saat masa-masa sekolahnya (sampai tingkat HBS) ia
termasuk kepada anak yang pandai. Setelah itu ia bekerja pada konsulat Belanda
di Jedah dari tahun 1906-1911. Masa-masa sekolah dan bekerja di lingkungan
Belanda inilah yang ia sebut sebagai jalan yang berlumpur.
Semasa
hidupnya ia pernah menjadi menteri luar negeri pada kabinet Sjahrir II, kabinet
Sjahrir III dan kabinet Amir Syarifudin. Iapun adalah salah seorang yang
berjasa dalam permintaan dukungan dari negara timur tengah (dalam hal ini
adalah Mesir) sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Semasa
mudanyapun ia adalah seorang yang sangat aktif pada partai Sarekat Islam. Ia
merupakan dwitunggal yang dipasangkan dengan Tjokroaminoto.
Banyaknya
jasa yang ia keluarkan untuk Indonesia dan tingginya jabatan yang pernah ia
pikul tidak pernah mendorongnya untuk berhenti hidup secara sederhana. Sehingga
tokoh termashur yang pandai menguasai sembilan bahasa ini tercatat sebagai
tokoh yang semasa hidupnya belum pernah memiliki rumah pribadi.
Penulis
yakin bahwa mudah saja sebenarnya untuk Haji Agus Salim jika ia ingin hidup
bermegah-megahan. Tetapi hebatnya Haji Agus Salim adalah ia tidak memilih jalan
yang demikian. Ia memilih sebagai pemimpin rakyat yang namanya harum dan abadi.
Ia memilih untuk menjadi pemimpin rakyat bukan hanya untuk rakyat pada zamannya,
tetapi ia memilih untuk menjadi pemimpin rakyat selama negara Indonesia ini
berdiri.
Seandainya
penulis bisa berbicara melalui lorong waktu kepada Haji Agus Salim. Penulis
akan mengucapkan terima kasih kepada beliau atas pilihannya untuk hidup
sederhana sehingga jikapun ada anak bangsa yang memilih jalan hidupnya seperti
Haji Agus Salim, tentulah ia tidak akan merasakan hal yang lebih ringan jika
dibandingkan dengan cara hidup Haji Agus Salim.
Di penghujung tulisan ini sempat terpikir oleh
penulis bahwa seandainya para pemimpin kita hari ini mulai dari tingkat atas
hingga tingkat bawah semuanya memilih hidup seperti Haji Agus Salim, bahwa
memimpin berarti menderita maka cita-cita reformasi ini akan segera tercapai. Tapi
pertanyaannya apakah ada pemimpin kita hari ini yang mau benar-benar menderita
untuk rakyatnya dan tidak mencari keistimewaan di dalam jabatannya?
Ditulis oleh Qiki Qilang Syachbudy
Ketua Umum HMI Cabang Bogor Periode 2013-2014
Komentar
Posting Komentar