Permasalahan dalam negara demokrasi kembali mendapatkan sedikit
nafasnya terutama bagi para penghayat kepercayaan lokal. MK, melalui Putusannya
No. 97/PUU-XIV/2016 mengabulkan permohonan menguji Pasal 61 ayat (1) dan ayat
(2) jo. Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU No. 23/2006 jo. UU No.
24/2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Dalam Putusan MK tersebut, pemohon mempermasalahkan ‘pengosongan’ kolom
agama yang, di dalam prakteknya, justru menimbulkan diskriminasi dan pemaksaan
untuk masuk pada salah satu agama yang diakui oleh negara yang sebenarnya tidak
diimaninya, baik secara politik, pendidikan maupun sosial-ekonomi. Karenanya,
dengan menyatakan inkonstitusionalnya pasal dan ayat a quo, penghayat
kepercayaan mendapat titik terang pengakuan sebagai warga negara yang memiliki
kedudukan yang sama dengan warga negara lain, baik dalam administrasi, politik,
ekonomi maupun sosial.
Akan tetapi, dengan adanya Putusan tersebut, justru menyimpan
pertanyaan yang masih mengganjal. Pertama, apakah dengan putusan
tersebut, permasalahan definisi antara agama dan kepercayaan dapat dipecahkan,
karena justru titik permasalahan berada pada definisi tersebut? Kedua,
apabila kepercayaan tersebut adalah kepercayaan berdasarkan adat dan budaya setempat
dan berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, bagaimana usaha untuk dapat
mengidentifikasi bahwa itu adalah kepercayaan adat dan budaya serta bukan kepercayaan
baru muncul?
Dan ketiga, sebagai konsekuensi dari pengakuan terhadap
penghayat kepercayaan, siapkah Pemerintah melindungi para penghayat kepercayaan
ini selayaknya para pemeluk agama yang diakui, mengingat catatan buruk
intoleransi agama yang begitu tinggi di negeri ini? Dan dari pertanyaan ketiga
inilah, tantangan kehidupan berbhineka mendapat suatu tantangan yang besar.
‘Agama’ dan ‘Kepercayaan’
Seiring dengan perdebatan tentang dasar negara yang panas dan
hampir abadi, mengikuti pula permasalahan pemeluk kepercayaan di luar agama
Islam (lalu terhadap agama yang diakui Negara). Permasalahan ini terdapat pada
penafsiran terhadap Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing.”
Merujuk pada Pertimbangan Hukum dalam Putusan MK No.
97/PUU-XIV/2016, permasalahan definisi ‘agama’ dan ‘kepercayaan’ menjadi titik
sentral. Bila membaca Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 secara letterlijk, maka
terlihat bahwa terdapat pembedaan perlakuan antara agama dan kepercayaan. Bila
merujuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kepercayaan sendiri adalah agama-agama
selain kelima agama yang diakui negara.
Selain itu, antara agama dan kepercayaan sendiri memiliki makna
terpisah sebagaimana yang tertuang dalam perdebatan pembentukan Pasal 28E ayat
(1) dan ayat (2) UUD 1945. Hal ini pun ternyata tertuang dalam Pasal 18
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang memisahkan antara agama dan
kepercayaan.
Hal ini terlihat lagi bahwa perlu untuk adanya pembedaan antara
agama langit dan agama bumi (agama wadi). Berbeda dengan agama langit yang
berasal dari ‘langit’ melalui penurunan wahyu oleh Tuhan, agama bumi (agama
wadi) adalah agama yang merupakan hasil akal pikiran dan kesadaran manusia
melalui pengalaman di alam akan adanya kekuatan yang adi-kodrati. Dalam
teoretisasi keagamaan, terdapat agama animistik, dinamistik, panteistik,
politeistik dan monoteistik. Dalam sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang
Maha Esa, condong kepada monoteistik, yang berbeda dengan agama bumi (agama
wadi) yang dikelompokkan selainnya.
Di sinilah timbul permasalahan. Bagaimana dengan kepercayaan yang
notabene belum diakui? Kriteria utama ‘Menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa’
inilah yang menjadi patokan. Sehingga, apabila satu agama atau kepercayaan
tidak menyembah berdasarkan Ketuhanan, maka agama atau kepercayaan tersebut
tidak dapat diakui. Oleh karenanya, Pemerintah perlu berusaha keras mendalami
dan meneliti kepercayaan lokal tersebut.
Namun, perdebatan masalah definisi agama dan kepercayaan tidak
sebanding dengan kenyataan di lapangan yang begitu menyedihkan. Agaknya,
permasalahan ini justru telah mencampuradukkan keimanan dengan kehidupan sosial
yang dinamis dan fleksibel. Apakah itu wajar?
Tantangan Kebhinekaan
Merujuk pada alasan permohonan Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016, maka
terlihat bahwa permasalahan kolom agama merupakan puncak es dari sekian
permasalahan keberagaman sosial. Tidak dapat dipungkiri, permasalahan
administrasi penduduk dapat membuat permasalahan di ranah sosial kemasyarakatan
menjadi lebih runyam, ditambah dengan kasus korupsi E-KTP yang masih jauh api
dari panggang.
Permasalahan kolom agama, yang sejatinya merupakan sekadar identitas,
justru telah menimbulkan diskriminasi dan ketidaksetaraan sosial. Tentu,
permasalahan keimanan tidak dapat serta merta menjadikan setiap orang merasa
benar sendiri sebagai pemeluk agama yang paling benar. Justru, agama menuntun
(dan menuntut) para pemeluk agama hidup sejajar dalam ranah sosial tanpa
membeda-bedakan. Merujuk pada al-Qur’an, bukankah dalam ranah sosial surah
al-Hujurat ayat 13 yang selalu menjadi rujukan dalam kehidupan sosial sesuai
dengan Dienul Islam?
Perlakuan diskriminasi karena hanya agama, justru menjauhkan tujuan
agama untuk tujuan rahmatan lil ‘alamin dalam skala makrokosmos dan memperbaiki
akhlak manusia dalam mikrokosmos. Sehingga, justru akibat perumusan
peraturan kolom agama baik secara de jure maupun de facto, justru
menimbulkan masalah kecil menjadi seperti bola salju.
Hal ini perlu untuk menjadi pengingat bagi pemerintah bahwa
kebijakan kolom agama ini perlu untuk diperhatikan karena hal tersebut
berkenaan dengan masalah sosial yang pelik, apalagi masalah intoleransi justru
menjadi isu hangat di negeri ini. Tantangan kebhinekaan menjadi satu agenda
besar yang harus ditangani secara saksama, baik pemerintah maupun rakyat
Indonesia sendiri.
Putusan MK tidak serta merta dapat dipraktekkan di lapangan dengan
kondisi yang ada sekarang ini. Dengan kata lain, perlu adanya penanganan
konkret dalam mengimplementasikan pengakuan terhadap penghayat kepercayaan.
Pertama, pendidikan toleransi sosial kemasyarakatan menjadi mendesak. Pola
pikir yang sesat yang mencampuradukkan antara keimanan yang mutlak dengan
kehidupan sosial yang luwes dan relatif menjadi samar sama sekali. Sehingga,
justru agama menjadi alat untuk berbuat kekerasan atas nama agama.
Pola pikir pengakuan terhadap agama dan kepercayaan bukan berarti
mengakui dan mengimani penghayat kepercayaan yang berbeda dengan diimani
seseorang, tetapi sebagai bentuk perlakuan sosial yang layak terhadap para
penghayat kepercayaan. Tentu apabila hal ini terjadi, betapa indahnya kehidupan
bangsa ini.
Kedua, menyikapi terhadap kepercayaan yang memang bukan kepercayaan
lokal seperti Parmalim, Marapu, Sunda Wiwitan, Sapto Darmo, dan 183 aliran
kepercayaan lainnya yang tercatat resmi, Pemerintah perlu untuk berusaha keras
dalam mendalami dan meneliti kepercayaan-kepercayaan di dalam masyarakat. Penelitian
ini mengingatkan penulis pada usaha-usaha penelitian antropologi yang telah
diselenggarakan sejak masa kolonial Belanda oleh para Indolog dalam
melengkapi daftar administrasi dan dokumentasi arsip yang berguna. Hal ini juga
termasuk untuk meneliti apakah itu kepercayaan yang lahir dalam rahim adat
sejak lama atau baru muncul sehingga riskan untuk diakui. Di sisi lain,
kriteria ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ menjadi patokan wahid sesuai dengan
Pancasila.
Ketiga, usaha-usaha pengakuan ini tentunya dalam segi positif tidak
menimbulkan campuraduk antar agama yang diakui dengan kepercayaan-kepercayaan
lama, sehingga mencegah sinkretisme agama yang berlebihan yang justru berdampak
pada penistaan agama. Akan tetapi, apakah masyarakat siap untuk menerima para penghayat
kepercayaan ini? Dalam hal ini, negara bertanggung jawab dalam melindungi para
penghayat kepercayaan ini.
Hasil survei Wahid Foundation-LSI, potensi masing-masing
kelompok yang bertindak secara radikal dan memang radikal atas nama agama
sebesar 7,7 persen dan 0,4 persen. Artinya, bila dikalkulasikan dengan jumlah
penduduk Indonesia, 11 Juta penduduk Indonesia memiliki potensi tindakan
radikal yang berujung pada kekerasan atas nama agama. Hal ini juga memiliki
pengaruh dan dampak langsung terhadap minoritas penghayat kepercayaan yang
perlu untuk dilindungi. Di sisi lain, masih adanya keraguan terhadap Pemerintah
melindungi minoritas terbukti dengan masih membekasnya kasus-kasus masa lalu
seperti Ahmadiyah dan Syiah Sampang.
Pertanyaan muncul kembali, apakah Pemerintah siap untuk melindungi
dan bertanggung jawab menjamin penghayat kepercayaan baik dalam beribadah
maupun dalam kehidupan sosialnya? Agaknya Pemerintah memiliki tugas untuk
meyakinkan bahwa pengakuan identitas tidak akan menghancurkan keimanan satu
umat beragama, tetapi untuk membangun keadilan sosial yang justru diidamkan
baik agama maupun negara.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah dalam
satu babnya yang kurang lebih berkata ‘suatu negara tidak akan berdiri stabil
apabila terdapat kelompok masyarakat yang beragam. Semakin beragam, semakin
tidak stabil.’ Indonesia kini menjadi pengecualian, namun apakah Indonesia
masih dapat menjawab tantangan Ibnu Khaldun bahwa hal itu salah? Agaknya
jawaban ini terlalu remeh jika hanya mempermasalahan kolom agama E-KTP.
Penulis: Kiagus Muhamad Iqbal (Kabid Pemberdayaan Umat HMI Cabang Bogor periode 2015-2016)
Komentar
Posting Komentar