Akhir-akhir ini kita disuguhi kembali
berita tentang serangan Israel ke Palestina yang sudah membunuh ratusan korban
dan melukai ribuan warga Palestina. Kejadian ini kembali mendapatkan simpati
rasa kemanusiaan dari warga masyarakat dunia. Namun demikian, serangan terus
dilakukan. Dengan congkaknya Israel terus menghujani Jalur Gaza dengan tidak
memperdulikan lagi bahwa disana banyak warga sipil tidak berdaya yang meninggal
dunia akibat serangan tersebut. Atas dasar keinginan mengembalikan kejayaan
kerajaan Daud dan Sulaiman mereka telah secara egois merendahkan nilai-nilai
kemanusiaan dan menghalalkan darah sesama manusia.
Ketegangan antara Israel dan Palestina
ini dilatarbelakangi oleh akar sejarah yang sangat panjang. Namun demikian,
secara hukum modern, sejarah mencatat bahwa saat ini Israel telah mencaplok
wilayah negara Palestina dari ketegangan yang sengaja diciptakan dari tahun
1946. Dengan berbekal dukungan dari Amerika Serikat kemudian Israel terus
melakukan perebutan wilayah Palestina, negara yang dahulu pernah menjadi kiblat
sujudnya ummat Islam di seluruh dunia.
Ada satu pertanyaan besar yang
menggelitik dari sangat beraninya Israel terus menerus menyerang masyarakat
Palestina yang berpenduduk mayoritas muslim dan merupakan negara yang memiliki
nilai historis (masjidil Aqso) sangat kental dengan perkembangan penyebaran
agama Islam. Seolah mereka sangat yakin bahwa ummat Islam tidak akan bersatu
untuk membantu saudara-saudaranya di Palestina. Seolah Israel menganggap bahwa
jumlah muslim yang sekarang terbesar di dunia itu hanyalah buih di lautan yang
tidak akan sanggup menghentikan keinginannya untuk memperluas luas wilayah
negaranya, memperkaya ladang minyaknya, dan mengembalikan kejayaannya pada masa
Daud dan Sulaiman.
Sebagai introspeksi diri, pendapat
Israel yang menganggap ummat Islam ini sebagai buih di lautan perlu kita kaji bersama.
Kondisi ummat Islam saat ini memang tidaklah jauh dari prediksi bangsa Israel.
Jangankan untuk memikirkan dan membantu saudara-saudara di Palestina sana,
sedangkan dengan tetanggapun banyak yang tidak akur. Jangankan untuk membantu
saudara yang jauh, saudara yang dekatpun kita jarang terenyuh jika diantara
mereka ada yang tidak bisa makan atau tidak bisa sekolah. Lebih jauhnya lagi,
jangankan kita rukun, untuk masalah kepentingan bersamapun kita tidak bisa
menyatukan pendapat. Kita kadang hanya sibuk untuk saling menyalahkan dan
mengkafirkan. Kita masih mengaku muslim, namun kelakuan kita jauh dari
nilai-nilai Islam. Kita lebih suka dan senang bercerai berai (mengeksiskan
diri) daripada mencari titik temu untuk melakukan kerja bersama yang kemudian
menghasilkan karya bersama.
Padahal, Islam sendiri sangat
menganjurkan nilai-nilai persatuan dari setiap ajarannya. Hal itu dapat dilihat
dari ajaran Islam mengenai shalat berjamaah, zakat, puasa ramadhan, dan berhaji
ke baitullah. Semua ajaran-ajaran tersebut memiliki nilai-nilai persatuan
(ukhuwah islamiyah) yang kemudian diharapkan untuk menjadi sumber kekuatan
ummat dimana antara muslim satu dengan yang lainnya merasa bersaudara.
Melalui peristiwa yang menimpa
saudara-saudara di Palestina ini hendaknya mari kita kembali me-reinstrospeksi
diri dan me-reshape pemahaman kita sebagai bagian dari keluarga besar ummat
Islam dan kemudian bertanya dimanakah posisi kita disaat saudara kita terkena
musibah dan kesulitan dimana pada setiap detik dalam 24 jam nyawanya terancam.
Kalau perlu kita kirimkan keringat dan darah kita untuk menggantikan keringat
dan darah yang telah saudara-saudara kita keluarkan di Palestina. Disinilah
kita dipertanyakan kembali tentang persatuan ummat sebagai senjata paling ampuh
kaum muslimin yang telah hilang.
Qiki Qilang Syachbudy
Ketua Umum HMI Cabang Bogor Periode 2013
- 2014
Komentar
Posting Komentar