Langsung ke konten utama

MARKAS PARA KORUPTOR



 
Ketika mendengar kata korupsi, sontak semua yang mendengar akan mengeluarkan sumpah serapah berkepanjangan. Biasalah, siapa yang tidak kesal jika setiap saat kita disuguhi oleh berita-berita korupsi secara maraton. Habis kasus satu muncul kasus yang lain. Kasus yang ini belum selesai, sudah muncul kasus baru yang lebih menghebohkan. Lebih-lebih jika yang melakukan korupsi adalah mereka yang direpresentasikan sebagai wakil rakyat atau pejabat negara.


Sudah bosan rasanya melihat polarisasi korupsi yang terjadi di negara kita ini. Tak jarang seorang tokoh pejabat yang kelihatan baik budi pekertinya, tiba-tiba tersangkut kasus suap yang nominalnya kadang diluar nalar masyarakat awam. Nahasnya, ketika tertangkap satu, tersangkanya akan terus bertambah dari waktu-ke waktu. Seakan-akan korupsi yang mereka lakukan memang sudah melembaga serta dikerjakan secara sistematis, masif dan terstruktur. Jadi wajarlah jika masayarakat marah lagi marah lagi. Karena apa yang mereka lakukan benar-benar menyulut api emosi. 

Bagaimana masyarakat tak kesal, jika tokoh yang mereka percayakan untuk mewakilkan aspirasi mereka, malah terjebak pada kepentingan ego dan kelompok. Sebaliknya, di lain waktu malah mereka menjual derita masyarakat untuk mendompleng perolehan suara mereka ketika pemilu. Setelah terpilih, wacana tentang masyarakatpun sirna. Yang ada hanyalah cerita, bagaimana mengembalikan modal modal mereka dan mencari penghidupan sebanyak-banyaknya. Coba lihat saja kasus-kasus korupsi yang menyeruak dari waktu ke waktu. Pada tahun 2010, ada sekitar 448 kasus korupsi yang terjadi. Pada tahun 2011, jumlahnya menurun menjadi 436 kasus dan menurun lagi pada 2012 menjadi 402 kasus. Namun, pada 2013, jumlahnya naik signifikan menjadi 560 kasus. Pada 2014, jumlah kasus korupsi diperkirakan akan meningkat lagi mengingat selama semester I-2014 jumlahnya sudah mencapai 308 kasus. Melihat fenomena ini tentulah tindak korupsi ini sepertinya sudah mengakar kuat di sistem pemerintahan. Bahkan ada guyonan, “jika korupsi sudah membudaya, akankah para koruptor disebut sebagai budayawan?” 

Sekali lagi, harap maklum saja jika masyarakat begitu marahnya lantaran kasus korupsi yang bejibun itu. Bayangkan, rakyat kecil susah cari duit untuk melanjutkan hidup, sementara yang duduk di singgasana justru menimang uang rakyat dan itu dilakukan dengan cara yang culas. Jangankan fasilitas atau tunjangan dari negara, untuk cari pekerjaan dengan  gaji yang tak seberap pun susahnya minta ampun. Dan anehnya, siapapun yang diduga korupsi pasti bisa menyampaikan argumentasi penyangkalan dengan lihainya. Mulai dari jebak menjebaklah, Pemalsuan tanda tanganlah, dendam politiklah dan alasan-alasan rasional lainnya yang memang susah untuk ditolak. Meminjam istilah Iwan Fals, “Dunia politik penuh dengan intrik”. Semuanya berdalih atas nama kebenaran. Vokalnya Cuma satu yakni “rakyat”. Sementara rakyat sendiripun terseok-seok mencari kesejahteraan yang digadang-gadang sebagi tujuan pembentukan sebuah negara. Jadilah negara kita layaknya auto pilot, seperti tak ada pemeritahannya.

Maka sungguh ironis, manakala kita melihat koruptor-koruptor yang tertangkap telah hidup nyaman dengan mobil mewah, rumah megah, dan harta melimpah yang mereka peroleh dari hasil korupsi. Seganas-ganasnya binatang buas masih bisa dijinakkan, tapi seganas-ganas nafsu manusia ternyata tidak mudah didekati walau dengan ancaman. Kurang lebih sepeti itulah gambaran koruptor menurut ustadz Said Aqill Siraj.

Melihat sudah begitu mengakarnya budaya korupsi yang di alami bangsa kita ini, perlu adanya gerakan preventif yang mengakar pula. Perlu kiranya dilakukan hukum “potong generasi” untuk bangsa kita saat ini. Karena tindakan korupsi tidak hanya sebatas perilaku, teapi juga soal pemahaman. Dan cara potong genarasi perlu dilakukan untuk menciptakan generasi yang baru dan bersih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

APA DAN BAGAIMANA SETELAH MASUK HMI? (Sesi Wawancara dengan Ketum HMI Cabang Bogor)

                    Pada kesempatan ini kami sengaja kembali menghadirkan sesi wawancara khusus dengan ketua umum HMI Cabang Bogor periode 2013-2014, Bang Qiki Qilang Syachbudy. Wawancara ini sengaja dilakukan karena banyaknya pertanyaan baik dari kader ataupun masyarakat umum tentang apa dan bagaimana yang harus dilakukan setelah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Berikut adalah wawancaranya.

Pilkada Kabupaten Bogor 2018, HMI Bersikap Netral

Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor, Joni Iskandar, menyampaikan agar seluruh kader HMI cabang Bogor  bersikap netral dalam pemilihan kepala daerah serentak yang akan digelar pada Rabu, 27 Juni 2018. Ajakan tersebut disampaikan di Gedung Serbaguna Mahasiswa Islam (GSMI), sekretariat HMI Cabang Bogor, Selasa (26/06). "Kader HMI harus bersikap netral sebagai bentuk pengejawantahan independensi organisatoris. Tidak dibenarkan jika kader HMI melakukan komitmen dalam bentuk apapun dengan pihak luar, apalagi ikut andil dalam politik praktis memenangkan satu kandidat," ungkap Joni. Dalam kesempatan tersebut Joni juga meminta kepada seluruh penyelenggara pemilu dan pihak keamanan agar menjalankan kewajibannya sesuai amanat yang sudah diberikan. "Kami meminta kepada semua aparatur negara dan pihak keamanan  menjalankan tugasnya dengan baik dalam mengawal pemilu demi terwujudnya Pilkada damai dan bersih," pungkas Joni mengakhiri.

SEKOLAH MENULIS, ARISAN BACA, DAN FLD?

  Judul di atas memang menarik untuk dibahas pada kesempatan ini mengingat kita sama-sama tahu bahwa HMI Cabang Bogor harus terus eksis dalam mencetak kader-kader militan ummat dan bangsa.