Langsung ke konten utama

Mencari Idealisme yang Hilang

 Jika kita menghamba pada ketakutan, kita sedang memperpanjang barisan perbudakan. __Wiji Tukul


Hidup kita membesar dan mengecil sesuai dengan keberanian yang kita miliki. Hampir setiap kesempatan hilang seketika hanya karena kita tak berani menentukan sikap. Dan ini terus merambat kepada kesempatan-kesempatan yang skalanya lebih besar. Terus menjalar ke pribadi-pribadi yang memiliki otoritas terhadap lajunya kebijakan Negara kita ini. Bisa kita bayangkan sikap elit politik kita yang dihantui rasa takut ketika hendak memutuskan kebijakan Negara. Dapat tekanan dari sana-sini. Intervensi asing, campur tangan rekan separtai, ataupun lobi-lobi dari musuh politik. Tentu ada yang salah dari proses kehidupan yang kita jalani. Harus ada solusi dari fenomena ini. Mungkinkah kesalahan ini bermula dari proses pendidikan yang kita jalani?



Nampaknya kita harus menggali kembali apa sebenarnya tujuan rangkaian pendidikan yang kita lalui. Semisal bagaimana cara kita memandang kemiskinan di sekitar kita. Orang miskin oleh fakultas agama harus dikasihani dan ditolong. Fakultas ekonomi mengatakan bahwa kemiskinan karena kemalasan dan rendahnya etos kerja. Fakultas hukum menyebutnya sebagai sasaran dari ketidak adilan. Lalu fisipol mengatakannya dengan efek dari pembangunan industri. Singkatnya, setiap orang yang berpendidikan bisa menemukan dengan mudah spesies kemiskinan ini. Tinggal kita sendiri mau bagaimana dan mau mulai dari mana. 


Mustinya ketika kita membahas pengetahuan di bangku perkuliahan akan mencipakan debat pada batas-batas manusia sampai menemukan kesepakatan ilmu, yang itupun masih ada kemungkinan perkembangan kedepannya. Tapi kini idealisme itu  melenceng. Ilmu pengetahuan sudah menjadi “kebenaran mutlak’ yang mengalahkan apa saja. Layak jika kemudian kampus tidak lagi menjadi arena adu argument yang mempesona melainkan hanya sebatas tempat untuk menundukkan hasrat anak muda. Tak heran jika mahasiswa jebolan dari perguruan tinggi terlalu takut untuk bersikap. Karena hal itu memang tidak mereka pelajari di perguruan tinggi. Lebih tepatnya tidak mereka ciptakan. Terlalu IPK oriented sehingga sangat patuh terhadap petuah dosen.


Ruang kelas perkuliahan layaknya ruangan pameran bisu. Tak ada lagi debat ilmiah antara dosen dan mahasiswa. Satu sisi mahasiswa sudah menentukan sikap bahwa ilmu sudah tidak seksi untuk digali, disisi lain dosen juga menyampaikan pengetahuan yang memang sudah ada di buku-buku tanpa ada polesan wacana baru.  Adegan yang lebih menyerupai pengajian dapipada forum ilmiah. Dosen memberitahu dan mahasiswa siap mendengar. Dosen memberi tugas karena tak banyak bahan kuliah yang bisa dia sampaikan, sedangkan mahasiswa siap untuk mengerjakan karena sudah memiliki orientasi menyelesaikan kuliah secepat mungkin dan bekerja. Sehingga tujuan akhir dari pendidikan sebagai sarana untuk menggali keasadaran dari manfaat ilmu itu sendiri sudah mulai memudar. Dan hal inilah yang menjadikan mahasiswa sebagai sosok pengukuh status quo. Tak ada lagi yang namanya mahasiswa sebagai agen of change. 


Pergerakan mahasiswa yang awalnya mengusung independensi, idealisme, dan kesadaran akan perubahan sepertinya hanya dapat bertahan beberapa waktu saja.  setelah itu, gerakan mahasiswa terjebak pada kepentingan individu dan kelompok, sehingga gerakan reformasi yang diusung terkesan “mati muda”. 

Coba kita lihat kembali sejarah kita. Seperti apa dan Siapa yang mengajari Soekarno sehingga punya kemauan untuk memerdekaan Indonesia. Apa yang diajarkan pada Hatta sehingga dia punya pandangan progresif tentang ekonomi kerakyatan. Dan cobalah kita lihat pengalaman apa yang membawa Tan Malaka sehingga dia sangat benci dengan kolonial. Bagaimana sebetulnya kondisi pendidikan yang mereka lalui dahulu. Lalu bagaimana dengan kondisi pendidikan yang kita jalani sekarang. Dimana terdapat begitu banyak limpahan fasilitas. Mulai dari wifi yang bisa membantu mengakses informasi darimanapun dan kapanpun. Perpustakaan yang dipenuhi dengan koleksi buku buku yang begitu banyak serta kantin yang dilengkapi dengan hidangan menu yang lengkap hingga dengan mudah memenuhi rasa dahaga dan laparmu. Sungguh ironis… limpahan fasilitas yang membuatmu lupa keadaan sekitar. Penindasan, kekejaman, dan ketimpangan hilang dari ingatan.
Soe Hok Gie punya pertanyaan dan gugatan serupa untuk kamu, kita dan semua mahasiswa: Ada hal yang tidak kumengerti tentang fakultas hukum di indonesia….  Begitu banyak tahanan yang ada, yang terkatung katung nasibya di penjara. Dan ada begitu banyak mahasiswa fakultas hukum, beribu ribu dan hampir di setiap universitas. Apakah tidak sebaiknya sebelum mereka lulus, mereka harus mengurus sebuah perkara yang terkatung berbulan bulan yang ada di kota mereka, atau mengurus sebuah pelanggaran hukum, sehingga mereka melihat secara kongkrit tahanan tahanan yang kurus, polisi-polisi yang menjadi maling.. agar hukum tidak jadi teori-teori yang njelimet… bagi saya lebih berguna mengururs perkara tukang sayur daripada mengurus seminar besar yang belum tentu ada manfaatnya…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

APA DAN BAGAIMANA SETELAH MASUK HMI? (Sesi Wawancara dengan Ketum HMI Cabang Bogor)

                    Pada kesempatan ini kami sengaja kembali menghadirkan sesi wawancara khusus dengan ketua umum HMI Cabang Bogor periode 2013-2014, Bang Qiki Qilang Syachbudy. Wawancara ini sengaja dilakukan karena banyaknya pertanyaan baik dari kader ataupun masyarakat umum tentang apa dan bagaimana yang harus dilakukan setelah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Berikut adalah wawancaranya.

Pilkada Kabupaten Bogor 2018, HMI Bersikap Netral

Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor, Joni Iskandar, menyampaikan agar seluruh kader HMI cabang Bogor  bersikap netral dalam pemilihan kepala daerah serentak yang akan digelar pada Rabu, 27 Juni 2018. Ajakan tersebut disampaikan di Gedung Serbaguna Mahasiswa Islam (GSMI), sekretariat HMI Cabang Bogor, Selasa (26/06). "Kader HMI harus bersikap netral sebagai bentuk pengejawantahan independensi organisatoris. Tidak dibenarkan jika kader HMI melakukan komitmen dalam bentuk apapun dengan pihak luar, apalagi ikut andil dalam politik praktis memenangkan satu kandidat," ungkap Joni. Dalam kesempatan tersebut Joni juga meminta kepada seluruh penyelenggara pemilu dan pihak keamanan agar menjalankan kewajibannya sesuai amanat yang sudah diberikan. "Kami meminta kepada semua aparatur negara dan pihak keamanan  menjalankan tugasnya dengan baik dalam mengawal pemilu demi terwujudnya Pilkada damai dan bersih," pungkas Joni mengakhiri.

SEKOLAH MENULIS, ARISAN BACA, DAN FLD?

  Judul di atas memang menarik untuk dibahas pada kesempatan ini mengingat kita sama-sama tahu bahwa HMI Cabang Bogor harus terus eksis dalam mencetak kader-kader militan ummat dan bangsa.