Sumber Kompas.com |
Selasa, 24 Oktober 2017 menjadi hari bersejarah di mana DPR mengesahkan Perppu No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan UU No. 17 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) setelah menghadapi Rapat Paripurna yang berjalan alot. Pengesahan tersebut terjadi setelah voting akhirnya dipilih sebagai jalan keluar dari alotnya Rapat Paripurna tersebut.
Hasil voting dari total 445 anggota DPR, 314 anggota menerima Pengesahan Perppu, 131 anggota menolak pengesahan. Fraksi PDI-P, Golkar, Nasdem dan Hanura menerima pengesahan Perppu tersebut. Sedangkan PPP, PKB dan Demokrat sendiri menerima dengan catatan DPR perlu merevisi Perppu tersebut bekerja sama dengan Pemerintah. Sedangkan Fraksi Gerindra, PAN dan PKS menolak Pengesahan Perppu Ormas.
Sejarah telah tercipta, namun kontroversi pasca-ketuk palu pengesahan Perppu Ormas menjadi Undang-Undang masih mengundang beberapa kontroversi.
Pertanyaan di seputarnya membekas menjadi suatu kesinisian: apakah Pengesahan Perppu Ormas menjadi pintu ‘abuse of power’ eksekutif dan menihilkan peran Yudisial dalam menertibkan Ormas? Bukankah terlalu besarnya peran eksekutif dalam Perppu Ormas membuka pintu otoritarianisme?
Terancamnya Pilar Demokrasi
Dalam kehidupan demokrasi di era modern ini, sistem Trias Politika telah berubah menjadi lebih luas. Di dalam konsep Trias Politika klasik, terdapat tiga bagian yang saling mengawasi dan menyeimbangi, yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudisial (Yudikatif dalam konteks Indonesia). Konsep klasik Trias Politika klasik ini dinilai masih dalam taraf yang sangat sempit dalam lingkup kelembagaan negara sehingga perlu adanya perluasan pengawasan dan pengimbangan dalam masa demokrasi modern saat ini.
Reinterpretasi Trias Politika diperlukan untuk memenuhi kehidupan demokrasi di zaman yang semakin modern. Reinterpretasi ini tidak lagi dilihat secara kaku dalam kacamata lembaga Negara, namun meluas pada tiga pilar kehidupan berbangsa dan bermasyarakat: Negara (State), Pasar (Market) dan Masyarakat Madani (Civil Society). Tiga pilar ini merupakan penopang utama dalam kehidupan berdemokrasi di masa kini.
Salah satu pilar terpenting dalam kehidupan demokrasi modern adalah peran aktif dari masyarakat madani (Civil Society). Berbeda dengan dua pilar lain, Masyarakat Madani memiliki cakupan dan skala yang lebih luas. Di dalam setiap lapisan masyarakat, baik kepentingan, asal daerah, profesi, keagamaan, etnis, bahkan hobi dan minat merupakan cakupan dari Masyarakat Madani. Dengan kata lain, peran dari Masyarakat Madani sebanding luas dan besarnya cakupan Masyarakat Madani dalam kehidupan demokrasi modern.
Ormas merupakan cakupan terbesar dalam pilar Masyarakat Madani. Pergerakan sosial dan pembelaan kepentingan masyarakat berada pada Ormas, tergantung dari fokus dan spesialisasi yang ditentukan oleh Ormas-ormas tersebut. Dengan adanya Ormas, diharapkan aspirasi masyarakat yang selama ini terlewat dan tidak diperhatikan mendapatkan salurannya sehingga dapat diperhatikan oleh Negara dan dapat ditindaklanjuti.
Akan tetapi, dengan adanya pengesahan dari DPR terhadap Perppu Ormas menjadi Undang-Undang telah banyak membuat resah dari para pihak Ormas. Perppu Ormas justru menimbulkan keretakan pilar-pilar Demokrasi Modern. Mengapa demikian?
Pertama, bila kita melihat secara historis, pengaturan di dalam Perppu tersebut memperluas kewenangan Pemerintah (eksekutif) untuk membubarkan Ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila. Hal ini mengingatkan pada peristiwa pembubaran Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada masa Orde Lama dan UU Ormas pada masa Orba yang bersifat membatasi. Dua peristiwa sejarah tersebut memiliki titik permasalahan yang sama, yaitu pembubaran organisasi tanpa adanya proses hukum yang layak-prosedural dan adil.
Kedua, pengundangan Perppu Ormas tidak hanya melemahkan Ormas sebagai pilar demokrasi modern, tetapi juga merusak pilar pengawasan dan pengimbangan di dalam tubuh Negara sendiri, yaitu fungsi dari Yudisial. dengan dihapusnya Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69 dan Pasal 70, dengan demikian peran Peradilan hanya sebatas mengadili petinggi dan anggota Ormas yang dinilai anti-Pancasila tersebut.
Dengan dihilangkannya kewenangan Yudisial, dalam hal ini Mahkamah Agung, untuk memproses Ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila secara hukum, telah menghilangkan peran MA untuk menilai apakah hal itu terbukti secara hukum atau tidak. Dan proses dalam MA merupakan sangat penting bagi jaminan kepastian hukum dan keadilan.
Ketiga, dengan hilangnya peran MA dalam proses pembubaran Ormas, akan membuka kotak pandora bagi penyalahgunaan kekuasaan di tangan eksekutif. Hal ini terlihat di mana dengan wewenang eksekutif yang begitu besar tanpa adanya peran Yudisial dalam proses hukum untuk menilai terbukti atau tidak suatu Ormas bertentangan dengan Pancasila. Dengan tiga peringatan secara administratif dan pencabutan begitu saja tanpa adanya proses hukum yang pasti dari Yudisial, maka akan lebih rawan penyalahgunaan kekuasaan.
Dan Keempat, akumulasi dari ketiga penjelasan sebelumnya, berimbas pada penggembosan terhadap Ormas-ormas. Hal tersebut secara tidak langsung menggerogoti pilar demokrasi modern, yaitu retaknya pilar Masyarakat Madani.
Hal ini berimbas pada fungsi kontrol terhadap Negara yang makin melemah dan semakin rentan pada penyalahgunaan kekuasaan, yang berpotensi besar masuknya kembali otoritarianisme.
Apabila hal tersebut terjadi, kehidupan demokrasi modern di Indonesia yang selama ini telah terawat dengan baik menjadi terancam. Meskipun dalih Pemerintah untuk ‘membersihkan’ ekses negatif dari demokrasi yang justru mengancam ideologi Pancasila, namun alangkah tidak eloknya Pemerintah dan DPR justru melegitimasi jalan masuknya penyalahgunaan kekuasaan yang justru telah terjadi di masa lalu.
Dengan demikian, apakah Pemerintah dan DPR belajar dari pengalaman pahit dari masa lalu, ataukah mereka juga mengalami amnesia sejarah seperti yang masih menggejala hingga saat ini? Alangkah rentannya bangsa ini!
Mendesak Reformasi Peradilan
Titik permasalahan di dalam pengesahan Perppu Ormas adalah semakin besarnya peran eksekutif dalam pembubaran Ormas dan malah menihilkan peran yudisial. Hal tersebut menjadi titik fokus bagi pihak yang kontra terhadap Perppu tersebut. Sedangkan, mendesaknya pembubaran Ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila membuat Pemerintah butuh pergerakan yang cepat agar masalah dapat dituntaskan.
Penuntasan secara cepat berkaitan pembubaran Ormas justru akan menimbulkan ekses nehatif bagi kehidupan demokrasi kita. Kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi melalui Ormas menjadi terganggu sama sekali. Di sisi lain, tidak adanya proses peradilan dalam pembubaran Ormas justru menjadi pertanyaan yang menjurus pada penggembosan terhadap Ormas yang berafiliasi politik berbeda dengan afiliasi politik pendukung pemerintah yang berkuasa.
Setiap kehidupan negara yang demokratis tidak akan pernah lepas dari peran bidang Yudisia;. Perannya adalah untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam lingkup permasalahan hukum. Dengan kata lain, peran Yudisial penting untuk menjaga keadilan dan ketertiban masyarakat. Kepastian hukum dan keadilan, dengan kata lain, tidak pernah lepas dari konteks kehidupan demokrasi modern.
Perlu pula untuk mempertanyakan mengapa Pemerintah justru menihilkan peran Yudisial, padahal kehidupan demokrasi tidak akan bisa lepas dari peran Yudisial itu sendiri. Waktu proses peradilan yang begitu lama menghambat inisiatif pemerintah untuk bergerak cepat dalam ‘membersihkan’ Ormas anti-pancasila. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya pekerjaan rumah MA terutama dalam menangani perkara Kasasi yang selama ini tidak dibatasi secara maksimal dan masih kurangnya tenaga hakim untuk menangani perkara-perkara hukum yang begitu banyak.
Permasalahan waktu proses peradilan tersebut menandakan masih kurang efektif dan tidak efisiennya sistem peradilan di Indonesia dalam menangani dan menyelesaikan masalah hukum di Indonesia. Sistem peradilan umum yang digawangi Mahkamah Agung perlu untuk adanya reformasi terutama peran untuk mengadili ormas-ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila. Seharusnya, DPR patut untuk mempertimbangkan dan mempelajari sejarah terhadap terbentuknya peran MK dalam mengadili pembubaran Partai Politik di Indonesia. Bila hal ini dapat dipelajari, maka tentu peran mengadili Ormas oleh MA adalah sesuatu yang memang perlu.
Akan tetapi, ibarat rantai setan yang melingkar tak terputus, permasalahan pembubaran Ormas melalui proses peradilan pun perlu untuk dipertimbangkan secara matang dan terarah dengan baik. Reformasi peradilan di Indonesia terutama masalah waktu menjadi suatu hal yang mendesak. Perlu adanya kamar khusus untuk penanganan pembubaran Ormas, di samping kamar pengujian Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan penambahan tenaga hakim dalam mengadili dan menilai Ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila.
Kini, kita akan menunggu terhadap masuknya Permohonan Pengujian Undang-Undang Ormas yang baru ini yang kemungkinan besar akan diujikan di Mahkamah Konstitusi. Pilar demokrasi dari Masyarakat Madani sudah selayaknya untuk diperkuat agar Negara tidak sewenangnya untuk membatasi ruang gerak rakyatnya dalam mengontrol, mengawasi dan menyampaikan aspirasinya. Bila tidak, efeknya akan seperti domino, menghancurkan pilar yang lain, dan meruntuhkan demokrasi kita. Bukankan negara ini milik bersama, bukan milik segelintir orang? (Oleh Kiagus M Iqbal, Kabid PU HMi Cabang Bogor 2015-2016)
Komentar
Posting Komentar