Langsung ke konten utama

MENGOBATI LUKA LAMA ‘PRIBUMI’



Apabila kita sering mengadakan dialog dan bincang-bincang ringan mengenai masa lalu bangsa dengan para orang tua yang sudah sepuh, maka kita akan selalu mendengarkan kosakata ‘pribumi’ yang terselip dalam perbincangan tersebut. Kata pribumi seakan menjadi suatu identitas melekat bagi setiap kelompok yang merasa ‘saya adalah orang asli dari daerah sini’. Dan kata pribumi, selalu bertaut dengan penindasan dan ketidakadilan.

Baru-baru ini, Gubenur DKI Jakarta yang baru saja dilantik, Anies Baswedan, beberapa waktu lalu berpidato pasca pelantikan dan serah terima jabatan Gubernur-Wakil Gubernur dengan mengangkat tema klasik namun tetap menjadi perbincangan hangat, bahkan panas: pidato yang bersinggungan dengan kata ‘pribumi’. Saya tidak ingin mempermasalahkan pidato Gubernur yang kontroversial tersebut, tetapi saya ingin mempertanyakan: mengapa istilah pribumi masih diangkat? Dan ada apa dengan kosakata pribumi?

Luka Lama

Lahirnya kosakata pribumi seakan membuka suatu lembaran sejarah panjang sebelum berdirinya Republik Indonesia tercinta ini. Kata Pribumi sendiri, dalam pengertian bersama, mengartikan orang asli dalam satu daerah. Sehingga kata pribumi selalu bertaut dengan prioritas, hak yang harus didahului dan seringkali satu arti dengan xenophobia.

Berkembangnya kosakata pribumi dengan pengertian saat ini memiliki perjalanan historis yang terbilang pahit, getir dan memang penuh pengorbanan. Nusantara, sejak dahulu, merupakan tempat pertemuan antar bangsa dengan kedudukan geografisnya yang memang mendukung keadaan pertemuan bangsa-bangsa tersebut. Bahkan, pada abad 9-10, Nusantara telah menjadi pusat perkembangan agama-agama (seperti Hindu dan Buddha) dan jalur dagang maritim yang padat dan ramai, terutama di wilayah-wilayah Sriwijaya, lalu Majapahit.

Dengan adanya kontak antar bangsa melalui persebaran agama dan ekonomi dagang dalam wilayah ini, terjadi proses asimilasi yang intens antar-bangsa, sehingga membentuk suatu masyarakat yang kosmopolit, terbuka dan cenderung toleran. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia memiliki landasan yang kuat sebagai masyarakat madani dengan ciri-ciri tersebut. Hal ini justru menjadi pendukung bagi majunya suatu bangsa.

Akan tetapi, bila dengan berkembangnya kata pribumi dengan sifat eksklusivitasnya, mengapa justru pola pikir ‘pribumi’ itu berkembang sedemikian rupa hingga menjangkit bangsa ini?Pribumi merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji dari sudut pandang kajian post-kolonialisme (bahkan post-modernisme). Dengan kata lain, pasca-masa kolonial, pribumi merupakan suatu bekas yang masih tertinggal dalam benak masyarakatnya sebagai suatu ingatan kolektif akan trauma masa lalu, terhadap penguasaan bangsanya oleh orang luar yang memang tidak bertanggung jawab demi kepentingan ekonomi.

Pribumi merupakan suatu simbol peristiwa yang merangkum banyak luka lama masyarakat Indonesia di masa lalu, terutama penguasaan ekonomi politik. Penguasaan ekonomi politik itu bermula dengan penguasaan komoditas dagang rempah-rempah yang merupakan komoditas primadona di Eropa. Hal itu menarik banyak usaha dagang untuk merebut sebisa mungkin ‘gudang’ rempah tersebut. Persaingan tersebut dimenangkan oleh Belanda melalui VOC, sehingga mulailah masa-masa penguasaan daerah atas nama kepentingan ekonomi dagang (merkantilisme negara).

Pada tahun 1740, terjadi suatu peristiwa pembantaian besar-besaran terhadap masyarakat Tionghoa di Jakarta dengan korban kurang lebih 10.000 ribu jiwa. Motifnya adalah akibat kecemburuan sosial kepada masyarakat Tionghoa yang lebih beruntung secara ekonomi dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Namun, pembantaian tersebut menyimpan suatu motif yang lebih besar: kalah saingnya pedagang Belanda akibat kecakapan masyarakat Tionghoa yang lebih lihai melakukan praktek bisnis.

Sejak pembantaian tersebut, secar tidak sadar, VOC telah menanamkan embrio politik apertheid (yang kelak dipraktekkan di Afrika Selatan) dengan membatasi masyarakat Tionghoa dengan kebijakan Wijkenstelsel (pembatasan ruang mukim) dan Passenstelsel (kebijakan pas jalan). Secara tidak langsung, VOC telah mulai mengkotak-kotakan masyarakat berawal dari pembatasan masyarakat Tionghoa, yang berlanjut dengan pembentukan kampung-kampung berdasarkan suku asal (khususnya di Jakarta) seperti Kampung Melayu, Kampung Bali, Manggarai, Makasar, Kampung Ambon dan sebagainya.

Rekayasa sosial tersebut telah berurat akar dengan korelasi ras dan kepentingan ekonomi. Sejak kebijakan wijkenstelsel dan passenstelsel, otomatis masyarakat Nusantara memasuki era stratifikasi sosial ekonomi. Baru pada tahun 1840-an, pembentukan struktur hukum berdasarkan tiga golongan penduduk berdasarkan ras mulai diciptakan.. Pengelompokan itu berdasarkan tiga golongan: Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Dari segi penggolongan tersebut, stratifikasi sosial telah berakar kuat dengan adanya legalitas hukum yang jelas.

Stratifikasi sosial ini telah memberikan luka yang mendalam, yaitu diskriminasi dan ketidakadilan sosial yang mengakar. Penggolongan masyarakat telah memecah masyarakat Indonesia dengan metode divide et impera-nya yang semakin halus: membelah golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing (khususnya Tionghoa) untuk kepentingan eksploitasi ekonomi bagi golonga Eropa. Hal tersebut semakin diperkuat dengan pembentukan teori hukum adat (adatsrecht) yang justru semakin mengkerdilkan golongan bumiputera dengan pengkotak-kotakkan berdasarkan hukum adat yang banyak tersebut.

Kosakata pribumi, dengan kata lain, seperti membuka luka lama perpecahan bangsa di masa lalu. Lalu, apa yang ingin kita cari dari kosakata yang penuh trauma, luka pedih dan penghinaan bangsa dengan diangkatnya kembali ‘pribumi’?

Komoditas Politik Reaksioner

Seperti isu-isu lainnya, pribumi masih menjadi komoditas yang menarik unuk digoreng demi kerenyahan mencapai kenikmatan kekuasaan politik. Agaknya, kita kembali bergelut pada masalah bangsa ini yang semakin hari semakin gawat dan ruwet: amnesia sejarah. Apabila amnesia ini tidak diobati, kelak kita tidak akan lagi mengingat dan menjadi Indonesia. Jangan menjadi Indonesia, menjadi manusia pun tidak! Kesimpulannya, lupa sejarah, menafikan kemanusiaannya.

Semakin ruwetnya gejala amnesia sejarah yang didiamkan tanpa adanya obat untuk menyembuhkannya, justru menyuburkan praktek-praktek yang tidak seh at dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita belum jauh dari kejadian ‘penggorengan’ isu PKI yang menyuburkan reaksi-reaksi yang justru melahirkan kembali gejala ‘delusi PKI’. Kini diangkat kembali masalah kata ‘Pribumi’.

Pada satu sisi, pidato yang diangkat Gubernur merupakan ekspresi bagi komitmennya mengangkat kaum mustadh’afin perkotaan yang selama ini menjadi korban ganasnya pembangunan yang dingin dan angkuh. Tetapi, dengan diksi ‘pribumi’, siapapun pejabatnya hingga tingkat Presiden, masalah pribumi justru akan mengangkat luka lama. Ibarat menyiram air garam (plus air perasan jeruk nipis) ke luka yang masih dalam, berbekas dan belum kering, justru membuat kepedihan itu semakin menjadi. Hal itu justru mengundang banyak memori yang mengundang reaksi yang justru tidak produktif.Amnesia sejarah yang tidak terobati, dan luka yang tidak kering-kering, menjadi objek yang menarik bagi tumbuhnya benih politik reaksioner.

Politik reaksioner yang tumbuh subur ini akan mengancam persatuan yang seharusnya kita capai, yang telah tercantum dalam Sila ketiga, ‘Persatuan Indonesia’. Seperti yang dikatakan sebelumnya, pribumi merupakan kosakata yang telah bergeser menjadi simbol eksklusifitas dibandingkan simbol perjuangan. Sehingga, lebih baik menggunakan ‘orang Indonesia’ sebagai simbol persatuan Indonesia. Tentu, lebih baik merawat ‘tenun kebangsaan’ daripada mengoyaknya kembali hanya karena diksi ‘pribumi’, bukan?

Mengobati Luka Lama

Kita perlu mengkoreksi pidato Gubernur yang cenderung mengorek luka lama yang justru makin memancing pihak reaksioner yang keras, angkuh dan mengatasnamakan agama demi kepentingan sempit. Niatnya yang baik untuk mengangkat kaum lemah justru memancing tindakan kaum reaksioner yang berpotensi merunyamkan suasana bermasyarakat.

Tindakan mengobati menjadi tindakan yang mendesak. Ada dua pengobatan untuk menyembuhkan luka ini. Pertama, pembelajaran terhadap sejarah bangsa ini. Amnesia sejarah terhadap perpecahan bangsa ini perlu diobati, karena bila berlarut akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang lupa diri. Sayangnya, pembelajaran sejarah sebagai solusi masih belum begitu ampuh karena pembawaan pelajaran sejarah yang terlalu linier dan cenderung kronis tanpa penjelasan yang bermakna. Tentu menjadi tugas bagi pemerintah dan para pengajar untuk merumuskan metode pengajaran yang pas bagi anak didik.

Kedua, perbaikan akses ekonomi dan kesejahteraan bagi semua warga negara. Pembelajaran terhadap sejarah bangsa kita, pembagian ketiga golongan tersebut mewakili kesenjangan ekonomi di setiap golongan menurut susunan hirarkis. Pribumi merupakan simbol dari ketertindasan seperti yang dipersepsikan oleh Gubernur Anies. Hal ini menandakan masih adanya kesenjangan ekonomi rakyat dan masih diskriminatifnya akses ekonomi bagi beberapa kalangan. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi di Jakarta tergantung pula dengan pembangunan ekonomi pada daerah lain, agar urbanisasi dapat berkurang dan mengurangi ‘daya magnet’ ibukota yang selama ini menjadi tujuan bagi para pencari sesuap nasi.

Untuk kedua metode pengobatan tersebut, diperlukan waktu yang panjang agar luka itu sembuh, meskipun bekas luka tersebut mungkin masih tersisa. Kata pribumi, meskipun telah dilarang sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden  No. 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan, akan selalu tertanam apabila ingatan bangsa kita dipulihkan kembali dan kesejahteraan ekonomi masyarakat diperbaiki.

Koreksi terhadap pemilihan kata tersebut, tentu harus dibarengi dengan komitmen bersama untuk kembali berkomitmen untuk membangun negara dalam mencerdaskan bangsa dan mengangkat keadilan ekonomi bagi semua. Tentu, kita perlu untuk meninggalkan dikotomi pribumi dan non-pribumi, agar kita tidak lagi terpecah. Ingat, Bung Karno sejak awal memperjuangan Persatuan Bangsa Indonesia, bukan yang lain!

Oleh Kiagus Muhammad Iqbal
Kabid PU HMI Cabang Bogor Periode 2015=2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

APA DAN BAGAIMANA SETELAH MASUK HMI? (Sesi Wawancara dengan Ketum HMI Cabang Bogor)

                    Pada kesempatan ini kami sengaja kembali menghadirkan sesi wawancara khusus dengan ketua umum HMI Cabang Bogor periode 2013-2014, Bang Qiki Qilang Syachbudy. Wawancara ini sengaja dilakukan karena banyaknya pertanyaan baik dari kader ataupun masyarakat umum tentang apa dan bagaimana yang harus dilakukan setelah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Berikut adalah wawancaranya.

Pilkada Kabupaten Bogor 2018, HMI Bersikap Netral

Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor, Joni Iskandar, menyampaikan agar seluruh kader HMI cabang Bogor  bersikap netral dalam pemilihan kepala daerah serentak yang akan digelar pada Rabu, 27 Juni 2018. Ajakan tersebut disampaikan di Gedung Serbaguna Mahasiswa Islam (GSMI), sekretariat HMI Cabang Bogor, Selasa (26/06). "Kader HMI harus bersikap netral sebagai bentuk pengejawantahan independensi organisatoris. Tidak dibenarkan jika kader HMI melakukan komitmen dalam bentuk apapun dengan pihak luar, apalagi ikut andil dalam politik praktis memenangkan satu kandidat," ungkap Joni. Dalam kesempatan tersebut Joni juga meminta kepada seluruh penyelenggara pemilu dan pihak keamanan agar menjalankan kewajibannya sesuai amanat yang sudah diberikan. "Kami meminta kepada semua aparatur negara dan pihak keamanan  menjalankan tugasnya dengan baik dalam mengawal pemilu demi terwujudnya Pilkada damai dan bersih," pungkas Joni mengakhiri.

SEKOLAH MENULIS, ARISAN BACA, DAN FLD?

  Judul di atas memang menarik untuk dibahas pada kesempatan ini mengingat kita sama-sama tahu bahwa HMI Cabang Bogor harus terus eksis dalam mencetak kader-kader militan ummat dan bangsa.