Langsung ke konten utama

Dunia Dalam Kemasan: Perumpamaan Manusia Gua

rianadhivira.wordpress.com

Jika ada yang bertanya, mengapa semuanya begitu tidak pasti dan relatif. Mengapa apa yang terkadang kita anggap sebuah kebenaran, ternyata hanyalah kepalsuan yang dibungkus dengan berbagai hiasan spekulasi dan manipulasi. Jawabannya adalah karena dari awal kita hidup pada kehidupan yang tidak sepenuhnya nyata.

Manusia Gua

Ada yang tahu siapa Plato? (#yang Striker sepak bola itukan?). oww, bukan sekali. Dia adalah Seorang filsuf Yunani  legendaris. Muridnya Socrates dan gurunya Aristoteles (#woww, Ia berguru dari orang hebat, lalu menjadi guru orang hebat pula). Dan Mereka bertiga adalah para punggawa filsafat di zaman Yunani klasik. 

Salah satu pemikiran Plato yang populer adalah tentang dunia persepsi  yang dipercaya manusia sebagai kenyataan. Pemikiran tersebut ia tunjukkan dengan  tulisan berupa dialog yang melibatkan gurunya Socrates. Judulnya “ Allegory of the cave”. (#hm pernah denger). 

Dialog ini menggambarkan sebuah ilustrasi dimana beberapa manusia yang seumur hidupnya tinggal di gua dalam keadaan terikat. Mereka ditawan tapi sekaligus diurusi kebutuhan pangannya sehingga tetap bertahan hidup. Kebetulan posisi mereka tak jauh dari sebuah api unggun yang mana sering dilalui manusia lain pada gua. Sehingga aktivitas semua makhluk yang lalu lalang bisa mereka lihat dari pantulan bayangannya. Dari proyeksi itulah, gambaran tentang dunia tercipta dalam pikiran mereka masing-masing. Sayangnya mereka mengaggap bayangan itulah kenyataan yang sebenarnya.

Pada suatu ketika, entah bagaimana salah seorang diantara mereka berhasil meloloskan diri. Dan betapa terkejutnya ketika dia melihat kenyataan yang sebenarnya. Di awal-awal ia masih kebingungan dan merasakan keguncangan yang luar biasa, namun perlahan ia beradaptasi lalu menyadari dan mulai menerima kenyataan yang sebenarnya. 

Ia baru tahu kalau kehidupan nyata itu lebih indah dan beragam dibandingkan kehidupan bayangan yang pernah ia anggap nyata. Si mantan tawanan inipun bermaksud kembali ke gua tersebut untuk menyadarkan teman-temanya tentang kehidupan sebenarnya yang jauh lebih indah.

Setibanya di gua ia memberi tahu temannya yang masih dalam keadaan tertawan. Akan tetapi, yang ia dapat malah ejekan dan cemohan. Wajar saja, mereka masih sulit menerima penjelasan tentang dunia. Karena persepsi mereka pada kehidupan telah berpaku hanya pada proyeksi bayangan yang selama ini dilihatnya.

Sang mantan tawanan juga kewalahan memberikan penjelasan. Bagaimana mungkin ia menjelaskan seperti apa birunya langit, hijaunya rerumputan, dan warna-warninya buah. Sementara orang yang diberi penjelasan hanya mengenal warna gelap.

Lanjut cerita, karena si mantan tawanan berusaha memberikan pengertian,  para teman  tawanannya justru menganggap ia sudah gila dan mengancam akan membunuhnya jika tetap ngotot. 

“ketika ada satu orang yang waras, dan sepuluh orang gila. Maka sepuluh orang gila akan bersepakat bahwa orang waras itulah yang gila.”

Dalam ilustrasi ini banyak pesan yang bisa kita tafsirkan. Bahwa seperti itulah cuplikan manusia yang Terpenjara dalam persepsinya. Mereka sulit menerima perbedaan, dan takut menerima perubahan. Mereka merasa nyaman dengan kepalsuan padahal kehidupan yang lebih indah berhamburan di luar gua. Bisa jadi tempat dan suasana, dimana kita sedang berada saat ini adalah confort zone yang mematikan.

Tapi apakah tawanan yang menolak kebenaran harus sepenuhnya disalahkan? Tidak juga, justru mereka perlu dikasihani atas ketidaktahuannya. Disinalah sulitnya menjelaskan sesuatu yang belum pernah dirasakan oleh orang. Sehingga butuh perumpamaan-perumpamaan yang menjelaskannya.

Siapa yang bisa menjamin, kita ini termasuk tipe orang yang mana? Apakah si pelarian gua?  Ataukah masih tawanan penghuni gua? Intinya, manusia harus terus mengeskplorasi semua indranya agar mudah menerima kebenaran yang sesungguhnya.

Mungkin kitalah sang Tawanan yang diceritakan Plato, kita masih terpenjara dalam  persepsi-persepsi pikiran. Itu yang kadang membuat kita menolak persepsi lain sekalipun itu kebenaran. 

Menyadari hal itu, seseorang perlu mananamkan Kerendahan hati pada intelektualitas. Tidak hanya  mendewakan pemikiran dan prasangkanya, namun ia juga harus siap mendengar persepsi orang lain. Yang jadi masalah, kita tak tahu persepsi  mana yang harus didengarkan? Bagaimana membedakan siapa yang masih tertawan oleh persepsi dan siapa yang sudah bebas dan telah melihat kenyataan? 

Ketua Bidang Pemberdayaan Umat
HMI Cabang Bogor Periode 2013-2014
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

APA DAN BAGAIMANA SETELAH MASUK HMI? (Sesi Wawancara dengan Ketum HMI Cabang Bogor)

                    Pada kesempatan ini kami sengaja kembali menghadirkan sesi wawancara khusus dengan ketua umum HMI Cabang Bogor periode 2013-2014, Bang Qiki Qilang Syachbudy. Wawancara ini sengaja dilakukan karena banyaknya pertanyaan baik dari kader ataupun masyarakat umum tentang apa dan bagaimana yang harus dilakukan setelah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Berikut adalah wawancaranya.

HMI-WAN BOGOR TERIMA APRESIASI DARI IPB SEBAGAI INOVATOR

BOGOR – Putra Ansa Gaora, HMI-wan asal Cabang Bogor bersama tim menerima anugerah berupa penghargaan dan apresiasi lewat inovasi "Jakarta Anti Galau" (JAGAU) yang dibuat bersama tim, yakni  M Prayoga Sunandar, M Joffy Mahardika dan Andri Nur Rachman. Inovasi ini berhasil menjadi salah satu dari 109 Inovasi Indonesia 2017 109 Inovasi Indonesia ini sendiri dikeluarkan oleh Business Innovation Center (BIC). Apresiasi untuk inovator IPB dilaksanakan di IPB Convention Center (ICC), Bogor (10/12/2017). Ansa yang juga menjabat sebagai Ketum komisariat Diploma IPB ini juga mengatakan, dia dan tim sempat kaget ketika menerima pengumuman karena melihat karya yang lulus hanya tim mereka yang dari kalangan mahasiswa selebihnya adalah karya dosen, baik yang sudah bergelar Profesor maupun Doktor. "Karya kami yang masih belum seberapa ini dapat bersaing dengan inovasi dan hasil penelitian yang dilakukan oleh profesor dan doktor. Apalagi inovasi tim kecil yang masih haru...

Potong Generasi Politikus Rakus!

Letih dan jengah adalah dua perasaan yang mendominasi ketika melihat dunia politik tanah air. Perebutan kekuasaan merupakan domain pasti dalam setiap momen politik. Partai politik sudah kian kabur tujuan ideologinya. Tak jelas arah dan orientasinya. Kegaduhan terjadi hampir di setiap lini, entah di tingkat internal maupun eksternal. Wajar jika kemudian fenomena ini menghasilkan banjir pesimis dan arus ketidakpercayaan masyarakat kepadanya.