Jika ada yang bertanya, mengapa semuanya
begitu tidak pasti dan relatif. Mengapa apa yang terkadang kita anggap sebuah
kebenaran, ternyata hanyalah kepalsuan yang dibungkus dengan berbagai hiasan
spekulasi dan manipulasi. Jawabannya adalah karena dari awal kita hidup pada
kehidupan yang tidak sepenuhnya nyata.
Manusia Gua
Ada yang tahu siapa Plato? (#yang Striker
sepak bola itukan?). oww, bukan sekali. Dia adalah Seorang filsuf Yunani legendaris. Muridnya Socrates dan gurunya
Aristoteles (#woww, Ia berguru dari orang
hebat, lalu menjadi guru orang hebat pula). Dan Mereka bertiga adalah para
punggawa filsafat di zaman Yunani klasik.
Salah satu pemikiran Plato yang populer adalah
tentang dunia persepsi yang dipercaya
manusia sebagai kenyataan. Pemikiran tersebut ia tunjukkan dengan tulisan berupa dialog yang melibatkan gurunya
Socrates. Judulnya “ Allegory of the
cave”. (#hm pernah denger).
Dialog ini menggambarkan sebuah ilustrasi
dimana beberapa manusia yang seumur hidupnya tinggal di gua dalam keadaan
terikat. Mereka ditawan tapi sekaligus diurusi kebutuhan pangannya sehingga
tetap bertahan hidup. Kebetulan posisi mereka tak jauh dari sebuah api unggun
yang mana sering dilalui manusia lain pada gua. Sehingga aktivitas semua
makhluk yang lalu lalang bisa mereka lihat dari pantulan bayangannya. Dari
proyeksi itulah, gambaran tentang dunia tercipta dalam pikiran mereka masing-masing.
Sayangnya mereka mengaggap bayangan itulah kenyataan yang sebenarnya.
Pada suatu ketika, entah bagaimana salah
seorang diantara mereka berhasil meloloskan diri. Dan betapa terkejutnya ketika
dia melihat kenyataan yang sebenarnya. Di awal-awal ia masih kebingungan dan
merasakan keguncangan yang luar biasa, namun perlahan ia beradaptasi lalu
menyadari dan mulai menerima kenyataan yang sebenarnya.
Ia baru tahu kalau kehidupan nyata itu lebih
indah dan beragam dibandingkan kehidupan bayangan yang pernah ia anggap nyata.
Si mantan tawanan inipun bermaksud kembali ke gua tersebut untuk menyadarkan
teman-temanya tentang kehidupan sebenarnya yang jauh lebih indah.
Setibanya di gua ia memberi tahu temannya yang
masih dalam keadaan tertawan. Akan tetapi, yang ia dapat malah ejekan dan
cemohan. Wajar saja, mereka masih sulit menerima penjelasan tentang dunia.
Karena persepsi mereka pada kehidupan telah berpaku hanya pada proyeksi
bayangan yang selama ini dilihatnya.
Sang mantan tawanan juga kewalahan memberikan
penjelasan. Bagaimana mungkin ia menjelaskan seperti apa birunya langit,
hijaunya rerumputan, dan warna-warninya buah. Sementara orang yang diberi
penjelasan hanya mengenal warna gelap.
Lanjut cerita, karena si mantan tawanan
berusaha memberikan pengertian, para
teman tawanannya justru menganggap ia
sudah gila dan mengancam akan membunuhnya jika tetap ngotot.
“ketika ada satu orang yang waras, dan sepuluh orang gila. Maka
sepuluh orang gila akan bersepakat bahwa orang waras itulah yang gila.”
Dalam ilustrasi ini banyak pesan yang bisa
kita tafsirkan. Bahwa seperti itulah cuplikan manusia yang Terpenjara dalam
persepsinya. Mereka sulit menerima perbedaan, dan takut menerima perubahan.
Mereka merasa nyaman dengan kepalsuan padahal kehidupan yang lebih indah berhamburan
di luar gua. Bisa jadi tempat dan suasana, dimana kita sedang berada saat ini
adalah confort zone yang mematikan.
Tapi apakah tawanan yang menolak kebenaran
harus sepenuhnya disalahkan? Tidak juga, justru mereka perlu dikasihani atas
ketidaktahuannya. Disinalah sulitnya menjelaskan sesuatu yang belum pernah
dirasakan oleh orang. Sehingga butuh perumpamaan-perumpamaan yang
menjelaskannya.
Siapa yang bisa menjamin, kita ini termasuk
tipe orang yang mana? Apakah si pelarian gua?
Ataukah masih tawanan penghuni gua? Intinya, manusia harus terus
mengeskplorasi semua indranya agar mudah menerima kebenaran yang sesungguhnya.
Mungkin kitalah sang Tawanan yang diceritakan
Plato, kita masih terpenjara dalam
persepsi-persepsi pikiran. Itu yang kadang membuat kita menolak persepsi
lain sekalipun itu kebenaran.
Menyadari hal itu, seseorang perlu mananamkan
Kerendahan hati pada intelektualitas. Tidak hanya mendewakan pemikiran dan prasangkanya, namun
ia juga harus siap mendengar persepsi orang lain. Yang jadi masalah, kita tak
tahu persepsi mana yang harus
didengarkan? Bagaimana membedakan siapa yang masih tertawan oleh persepsi dan
siapa yang sudah bebas dan telah melihat kenyataan?
Oleh Ilham Mansur
Ketua Bidang Pemberdayaan Umat
HMI Cabang Bogor Periode 2013-2014
Komentar
Posting Komentar