Tujuan setiap manusia tentulah mendatangkan manfaat bagi manusia yang lain atau yang kita kenal dengan ‘Anfa uhum Linnas. Untuk menggapai tujuan tersebut tentu harus ada proses penggalian potensi yang harus kita lalui yakni belajar. Namun sayang beribu sayang proses belajar yang kita kenal, disederhanakan oleh sebagian besar masyarakat menjadi proses belajar dari SD hingga sarjana. Maka tak heran setiap individu sekarang hanya berpacu untuk mendapatkan gelar sarjana semata.
Tanpa
kita sadari proses belajar telah tereduksi menjadi begitu kerdil. Belajar hanya
dalam ruangan persegi empat dan kita dipaksa untuk mempelajari berbagai macam
ilmu usang yang begitu banyaknya. Sehingga wajar jika kita melihat sebagain
besar dari kita kurang bisa mengentaskan permasalahan karena kita memang tidak
dididik untuk menjadi seperti itu. Kita dididik menjadi individu yang bisa
menyesusiakan dengan lingkungan bukan menjadi individu yang bisa menjawab
realitas. Jika ppendidikan yang model seperti ini terus kita lestarikan maka
tujuan mencerdaskan bangsa hanya akan menggantung dilangit, utopis dan tidak
pernah tercapai.
Pendidikan
kita sudah mengadopsi Mcdonalisasi. Dibuat sedemikian rupa agar cepat
saji. Kuliah harus selesai dalam waktu 4 tahun. Padahal apalah manfaat wisuda
terlalu cepat jika kita masih kosong dari ilmu pengerahuan. Kita harus
melakukan proses penyadaran agar tidak terlarut dalam system seperti ini. Salah
satunya yakni dengan menggalakan pendidikan kritis, yang akan membawa pada
suasana interaktif. Sehingga teori teori yang kita pelajari sesuai dengan
konteks kekinian. Dengan proses pedidikan kritis antara guru dan murid akan
mengalami proses pembelajaran. Kita tidak hanya dituntut untuk belajar tetapi
teori yang kita pelajari tersebut bisa menjadi pisau analisis terhadap realitas
yang ada, bukan hanya sekedar untuk menjawab ujian semata.
Proses
tersebut bisa kita mulai dari perbaikan pada system yang menghasilkan guru.
Bagaimana agar supaya orang yang menjadi guru bisa menjadi sebagai fasilitator,
motivator dan administrator. Tentu berbeda cara mengajar orang dewasa dalam
hal ini mahasiswa dengan kalangan anak kecil. Logika yang diapakai bukan lagi ‘logika
gelas kosong’. Dimana peserta didik diposisikan sebagai objek tempat menampung
pengetahuan yang diberikan oleh pengajar. Sehingga terkesan ada kebeneran yang
dominatif disini bila tidak dikatakan sebagai penindasan intelektual. Bukankah lebih
baik jika posisinya kita samakan. Baik pengajar maupun yang diajar sama-sama
menjadi subjek sementara fenomenalah yang dijadikan Objek pembahasannya. Menjadi
penting memiliki kemampuan mengajar sekaligus menguraikan bagi seorang
pendidik.
Ketika pendidikan dan ilmu
pengetahaun telah menjadi produk bagi sang pejual jasa yakni guru, dan pelajar atau
siswa telah menjelma sebagai konsumen. Pendidikan
telah menjadi barang dagangan yang mewah sehingga yang mampu mengakses hanyalah
mereka yang mempunyai kekayaan yang melimpah. Akhirnya kita harus membayar
mahal terhadap pendidikan, padahal belum tentu kualitas yang kita dapatkan
menjadikan kita faham akan nilai nilai kemanusian yang ingin kita gapai di
awal. Apakah kita telah mengalami pergesaran dari proses belajar yang
sesungguhnya? Atau mungkin kita sudah terasingkan dari proses belajar mengajar
tersebut. Tak ada yang salah jika pendidikan itu dinominalkan dalam biaya yang
cukup mahal. Namun harus beimbang dengan fasilitas dan kapasitas yang
diberikan. Tapi satu hal yang harus diingat, kita harus
siap mendapat julukan kapitalis pendidikan. Apa yang akan terjadi jika
pendidikan kita komersilkan? Lalu bagaimana pula hak pendidikan bagi kaum yang
tertindas?
Pendidikan
merupakan fasilitas budaya untuk membentuk manusia. Dengan adanya pendidikan
diharapkan kita bisa menjadi lebih dewasa dan bisa menjadi lebih manusiawi.
Karena tujuan pendidikan adalah menciptkan insane akademis yang mencerdaskan
dan berkepribadian kemanusian. Maka tak seharusnya jika pendidikan di
kapitalisasi dan di politisasi.
Pendidikan
yang telah mengalami penyempitan makna. Dimana pedidikan ibarat sebuah
celengan, Guru sebagai penabung dan murid sebagai tempat celengan. Guru
menceritakan pengetahuan berdasarkan tekstual yang terkadang telah usang dan
terpisahkan dari realitas social. Sehingga ilmu inilah nantinya yang akan
dihafal secara mekanis oleh para murid agar bisa menjawab soal ujian. Akhirnya
murid hanya beaktivitas menerima, mencatat dan menghafal ilmu pengetahuan tanpa
adanya hubungan timbal balik dan tidak ada ruangan untuk saling mengkritisi.
Antara guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang pada celah inilah
terselip penindasan yang telah dilegalkan oleh lembaga pendidikan dan
dinaturalisasi seakan akan itulah yang benar.
Harusnya ilmu pengetahuan merupakan pembaca realitas social. Bagaimana supaya ilmu tersebut menjadi alat baca bagi kita
dalam meneropong lingkungan sekitar. Sehingga ketika kita telah selasai
menempuh bangku pendidikan kita bisa memakai dan mengunakannya dalam
menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi. Maka menjadi sebuah keharusan
untuk mengubah cara kita dalam mendidik dari narrative menjadi interactive. Karena yang terjadi sekarang, ruang-ruang
kelas yang diharapkan menjadi arena adu argumen serta baku hantam gagasan tak
ubahnya seperti pameran bisu para pelaku pendidikan yang terbentuk secara
mekanis. Merasa sebagai Agen Of Change? Rubah itu...
Komentar
Posting Komentar