Kedeputian Ilmu pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK-LIPI) telah membangun Program Global Village. Program ini merupakan amanat dalam RPJMN 2015-2019. Program ini bertujuan untuk menghasilkan temuan baru/reformulasi, diskursus/perspektif baru, model, teori dan metode bagi penguatan masyarakat dan negara dalam kehidupan Global.
Berhubungan dengan program di atas, LIPI mengadakan diskusi lanjutan untuk follow up terkait kebijakan seperti apa yang akan direkomendasikan kepada pemerintah untuk mencapai kesiapan masyarakat dalam menghadapi globalisasi, Bogor, Senin (13/08/2018).
Dalam Diskusi tersebut hadir juga beberapa kader HMI Cabang Bogor sebagai partisipan. Anda Putra Gaora menilai bahwa diskusi tersebut lebih kepada sosialisasi LIPI dari penelitian frontier yang sudah dilakukan.
"Sebaiknya kebijakan yang hendak dirumuskan harus lebih spesifik. Karena bicara tentang globalisasi terlalu luas, apakah di bidang teknologi, ekonomi, politik dan lain lain," jelas Ansa.
Menanggapi diskusi tersebut, berbeda dengan Firman, dia mengatakan bahwa Global Village itu satu kondisi yg erat kaitannya dengan globalisasi dan teknologi informasi (khususnya internet). "Kehadiran globalisasi adalah satu keniscayaan dlm dunia kita hari ini. Apakah kondisi ini akan menjadi sesuatu yg mengganggu (disrupt)?", Tanya Firman.
Hal tersebut, Firman Melanjutkan, menjadi pilihan kita sebagai individu untuk bersikap responsiv-inovative, agar kondisi tersebut menjadi keuntungan. Disisi lain individu, masyarakat, lembaga, dan pemerintahan perlu mengkampanyekan kondisi ini agar dapat merespon senada dan meraih dampak positif dari kondisi global village.
"Akibat kondisi ini (ditambah internet of things ) tidak hanya informasi yang dipertukarkan, tapi kini perdagangan antar individu (satuan terkevil) dari satu negara menjadi dapat ditransaksikan secara real time, tanpa tatap muka, dan tepat. (misal, e-commerce)," ungkap Firman.
Di sisi lain, Luhur Nugroho berpendapat bahwa Kondisi globalisasi pada Global village yang dicetuskan oleh McLuhan pada tahun 1962 di Indonesia harus dipandang secara "lentur" tidak kaku serta bersifat transdisiplin. Membongkar skat-skat ilmu pengetahuan masih perlu dilakukan, Serta harus mengembangkannya secara "responsif-inovatif", sehingga ruang-ruang dialektis tercipta.
"Tentunya harus berbasis pada welfare society. Sehingga produk-produk ilmu pengetahuan yang kekinian tidak hanya menjadi tools penyaluran agenda-agenda negara yang berwajah politis guna menghabiskan anggaran negara saja namun tidak mengenai jantung permasalahan yang semestinya mengeluarkan solusi dan malah cendrung menciptakan masalah baru," ujar Luhur.
Dalam diskusi tersebut juga hadir beberapa tokoh akademisi dari Kampus seperti kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia dan beberapa kader HMI Cabang Bogor.
Komentar
Posting Komentar