Langsung ke konten utama

Petani, Mahasiswa dan Realita Agraria Kita





 Masalah Kita
Syarat sehatnya suatu bangsa adalah kesejahteraan rakyatnya, terutama terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat seperti kebutuhan akan makan. Makanan tidak akan perah bisa lepas dari tiga hal: Petani, Peternak dan Nelayan. Namun kebutuhan dasar manusia pastinya dipegang oleh Petani, terutama Petani Pangan.

Petani merupakan penyangga paling utama bagi ketercukupan makanan masyarakat. Tanpa petani, makanan tidak akan tersedia. Membeli dari luar bisa saja dilakukan tapi hal tersebut sangat tidak baik dengan adanya sikap dan kebiasaan ketergantungan dari pihak lain. Ketergantungan dengan pihak lain, terutama dalam masalah kebutuhan dasar pangan, adalah suatu bencana yang berpotensi menggadaikan kedaulatan dan kemerdekaan suatu bangsa.


Bangsa kita dihadapkan pada masalah yang pelik, di mana dalam beberapa data yang dihimpun dari BPS, pada tahun 2016, impor beras kita mencapai tingkat tertinggi selama kurun waktu 4-5 tahun terakhir. Kebutuhan di dalam negeri sangat begitu banyak sedangkan ketersediaan beras sangat sedikit. Di sisi lain, ketersediaan akan lahan pertanian dalam data yang masih ada (dan belum diperbaharui sampai sekarang) Indonesia mengalami penyusutan luas lahan pertanian mencapai 400.000 hektar dalam dua tahun (2012-2013). Apabila produktivitas padi per-hektar mencapai, 5,3 ton/hektar, maka Indonesia telah kehilangan potensi 2,12 juta ton padi (dan ini belum diproduksi menjadi beras yang pastinya berat muatannya akan menyusut).

Hilangnya lahan pertanian tersebut dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan petaninya. Menurut BPS, secara umum, kesejahteraan petani meningkat drastis di bulan Juli-Agustus 2017, dan ditahbiskan sebagai NTP tertinggi sejak November tahun lalu. Namun, apabila kita melihat lebih mendalam lagi dari data tersebut, maka ada dua hal yang perlu untuk diperhatikan. Pertama, Data NTP tersebut merupakan perhitungan kasar dengan sektor-sektor lain yang lebih luas seperti peternakan dan perikanan. Kedua, dalam data tersebut, justru petani yang berada pada tingkat yang memadai hanyalah petani tanaman hortikulutra.

Dalam data yang diperoleh dalam Laporan Bulanan Indikator Ekonomi BPS, NTP Petani Pangan dan Petani Perkebunan Rakyat sama-sama dalam level 98. Artinya, Petani-petani tersebut, jangankan mendapatkan keuntungan alias surplus, malahan mereka merugi dan tidak balik modal. Berbeda dengan Petani Tanaman Hortikultura yang justru ada pada level 102. 

Ironisnya, meskipun Hortikulura kita mendapatkan kemajuan, namun justru impor buah-buahan dan sayur mayur yang ditotalkan hingga bulan Juli 2017 mencapai 1,07 Milliar Dolar. Di sisi lain, impor gula sebesar 1,3 Milliar Dolar pun merugikan produsen yang sedianya menikmati keuntungan gula dengan harga yang lebih pantas. Apalagi memang kini lahan untuk menanam tebu semakin berkurang seiring semakin berkurangnya lahan perkebunan yang beralih baik menjadi sawah maupun pemukiman serta terjadinya pemecahan lahan. 

Indikator NTP ini adalah dari indeks apa yang diterima oleh Petani dan indeks biaya yang harus dibayar oleh Petani. Selisih di antaranya, seperti yng terlihat dalam Petani Pangan dan Perkebunan Rakyat, mengalami minus dan di bawah level 100. Hal ini terutama akibat naiknya Biaya terutama konsumsi rumah tangga seperti Bahan Makanan dan naiknya biaya produksi seperti Sewa Lahan dan Upah Buruh Tani. 

Upah buruh Tani, meski dalam taraf nilai riil yang stabil, namun tidak bisa dipungkiri terjadinya perpindahan pekerjaan dari buruh tani ke buruh bangunan yang memiliki upah yang lebih besar. Buruh Bangunan yang sangat dibutuhkan di perkotaan dalam rangka pembangunan, tentu mendorong adanya urbanisasi. Pelarian sumber daya manusia di pedesaan ke perkotaan justru semakin mengurangi daya perekonomian pedesaan yang bertumpu pada pertanian. Wajar bila terdapat isu berkembang akan punahnya Petani Indonesia hingga sekian tahun kedepan. Meski prediksi tersebut masih samar, namun hal ini perlu untuk diwaspadai.

Permasalahan Agraria hingga kini masih belum bisa ditangani dengan baik. Semakin menyusutnya lahan pertanian dan melemahnya sumbangan pertanian dalam kontribus ekonomi menjadi indikator perlunya penanganan yang ekstra. Kedaulatan pangan sebenarnya masih menjadi angan bagi kita. 

Dalam Hari Tani Nasional ini, tentu perlu untuk berefleksi, mengapa semua ini terjadi? Hari Tani diresmikan bertepatan dengan lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Hukum Agraria (UUPA). Disahkannya UUPA menjadi momentum untuk menyatukan hukum agraria Indonesia yang selama ini terpecah dan tidak terjaminnya kaum tani di Indonesia dengan sistem hukum yang ada sebelumnya.

Dua Hal Terlupakan
Ada dua hal yang hingga kini dilupakan oleh bangsa kita terhadap semangar UUPA tersebut. Pertama, UUPA memberikan suatu filosofi terhadap tanah (dan agraria secara luas) dalam konteks sifat Komunalistik-Religius. Tanah, dan segala hal yang yang terkandung dalam makna agraria merupakan suatu pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai Rahmat, kasih sayangNya kepada manusia dengan memberikan suatu fasilitas hidup yang vital bagi manusia. Tanah merupakan tempat berpijak, tempat hidup, dan tempat menumbuhkan makanan bagi kebutuhan manusia. Malahan, dalam sistem teologi-normatif keagamaan (khususnya Islam), manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. 

Tanah memiliki nilai yang sangat penting dan sentral bagi kehidupan manusia. Kebutuhan Pangan merupakan kebutuhan yang sangat penting. Oleh karenanya, pemanfaatan tanah perlu untuk ditangani secara bijaksana dan hati-hati. Sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Kasih, maka Tanah perlu untuk ditangani secara bersama dan tidak boleh dimiliki secara pribadi semata. Makna Komunalistik ini tertuang dalam landasan hukum UUPA bahwa yang berhak terhadap tanah di Indonesia adalah Bangsa Indonesia sendiri (Hak Bangsa Indonesia). Justru semangat Komunalistik-Religius adalah untuk menjamin dan menghimpun kaum tani untuk saling menyatukan kekuatan dan mereorganisir diri dalam mencapai tujuannya untuk kedaulatan agraria dan pangan.

Kedua, tanah bersifat sosial dan tidak untuk dijadikan objek spekulasi untuk mencari keuntungan. Tanah yang terpecah-pecah dan menjadi miliki orang perorang merupakan suatu penyimpangan, apalagi dijadikan sebagai objek spekulasi untuk meraih keuntungan. Keuntungan menggadaikan kebutuhan dasar manusia seperti pemanfaatan untuk penanaman padi. Tentu hal tersebut dipandang sebagai dosa yang kita hadapi kini dengan semakin banyaknya impor beras pada tahun lalu dan harus tergantung pada negara lain. 

Dari dua hal yang dijelaskan di atas, dengan kata lain, kita telah menyia-nyiakan pemberian Tuhan dengan menyalagunakan sumber yang diberikanNya demi keuntungan semata dan bagi segelintir kelompok semata. Hal ini terjadi dengan semakin terpuruknya nasib pertanian di Indonesia, terutama di sektor Pangan dan Perkebunan Rakyat.

Lalu, sebagai Pemuda umumya, dan Mahasiswa khususnya, apa yang perlu kita lakukan dalam menghadapi masa depan pertanian yang kelak diprediksi suram dan tidak jelas seperti yang disinggung di atas?

Beberapa Jalan: Pandangan Umum
Sebagai Mahasiswa, tentu identitas sebagai agen perubahan itu masih melekat apabila memang dibarengi dengan niat yang kuat, perencanaan yang matang, aksi nyata, dan kemampuan memperhitungkan diri dan pertimbangan yang matang. Kemauan inisiatif dan kukuhnya akar ideologis dalam memperjuangkan Kaum Tani memang perlu, tapi tentu perlu adanya suatu proses yang begitu panjang dan konsisten dalam membangun suatu gerakan nyata yang konsisten tersebut.

Agen perubahan akan terjadi apabila kemampuan intelektualitas, ilmu pengetahuan, kemauan mengubah dan tindakan nyata menjadi satu kesatuan yang harmonis dan runut. Untuk hal tersebut, maka diperlukan suatu perencanaan matang. Dan inilah yang bisa saya berikan sebagai pandangan umum dalam kapasitasnya terhadap Mahasiswa.

Pertama, masalah pendidikan dan intelektualitas Mahasiswa terhadap pertanian itu sendiri. Seringkali kita memahami pertanian dengan hanya bercocok tanam dan berbagai hal yang bersifat teknis dan kering maknanya. Meskipun teknis sangat bermanfaat, namun ada beberapa hal yang non-teknis, seperti masalah perubahan sosial dan struktur sosial masyarakat pertanian di pedesaan, budaya petani di pedesaan dan lain sebagainya. Hal ini termasuk dalam mempelajari baik masalah teknis pertanian yang tentu bagi mahasiswa pertanian belajar, dan perubahan sosial dan budaya masyarakat pertanian di perdesaan. 

Hal ini juga termasuk dalam mempelajari mengenai UUPA yang semakin hari semakin tergerus zaman karena dalam kenyataan UUPA sering hanya dijadikan ‘hukum nominal’ dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik dalam tingkat Undang-Undang maupun di bawahnya. Pembelajaran sejarah dan ekonomi politik juga akan menjadi sangat menarik dalam mendidik mahasiswa dalam memahami kenyataan masyarakat petani baik dalam tingkat umum maupun khusus.

Kedua, Pembangunan Komunikasi dengan masyarakat pedesaan. Dalam perjalanan sejarahnya, Mahasiswa selalu menghadapi kendala besar berupa komunikasi terhadap rakyat kebanyakan. Seringkali terjadi suatu anggapan yang tidak layak dari dua pihak: orang kota itu yang paling banyak tahu, orang desa tidak tahu apa-apa; orang kota itu lebih mendalam pemahamannya, orang desa tidak; bahasa orang kota itu terlalu tinggi, bahasa orang desa gitu-gitu saja. Pada akhirnya, terdapat anggarap subordinasi antara orang kota terhadap orang desa. Namun, hal tersebut justru telah dicontohkan Soekarno yang Mahasiswa Teknik, namun dapat menjadi ‘Penyambung Lidah Rakyat’ berkat kemampuan membangun komunikasi dengan masyarakat desa, dengan menggunakan bahasa yang dapat dipahami masyarakat desa. Mungkin nasehat ini dapat diringkas bila anda mendengar lagu Barasuara dalam judul ‘Bahas Bahasa’.

Ketiga, menurunkan ego ‘Mahasiswa serba tahu’. Agaknya, kita perlu untuk berefleksi dengan buku yang ditulis oleh Robert Chambers, ‘Pembangunan Desa: Memulai dari Belakang’. Buku tersebut sangat baik di mana perlu adanya perubahan orientasi pemikiran bahwa orang kampus lebih tahu dibanding orang desa. Dahulu, Ibu saya yang juga orang desa selalu berkata kepada saya, ‘Belajar mah bukan dari teori (semata), tapi dari pengalaman. Itu pegangan orang kampung mah.” 

Pengalaman orang desa lebih banyak dibanding Mahasiswa yang kurang berada di lapangan. Sehingga, belajar untuk menurunkan ego tersebut juga sangat penting untuk berkomunikasi dan mau belajar lapangan dengan penduduk desa.

Keempat, permasalahan agraria yang kompleks tersebut perlu untuk diintegrasikan dengan adanya suatu kajian pendalaman dari apa yang ditemukan. Pembahasan sebelumnya merupakan beberapa langkah yang dapat digabungkan setelahnya dengan hasil berupa kajian mendalam untuk memahami apa masalah yang dihadapi dalam konteks agraria kita. Seringkali kita akan menemukan, misalkan, ketegangan berpotensi konflik tanah antara satu masyarakat dengan satu perusahaan, pembelian tanah desa oleh orang kota yang justru menggusur orang desa dan tercerabutnya mereka dari tempat kembali mereka, penguasaan modal oleh pengijon dan lintah darat, dan sebagainya. Hal tersebut justru akan menjadi kajian yang sangat menarik dan bila hal tersebut ternyata sangat bermasalah dan bahkan berpotensi menyalahi hukum dan menyalahi hak rakyat terhadap tanah, yang akan menjadi suatu aksi nyata, minimal demonstrasi, atau gerakan-gerakan ‘jangan buang nasi’ untuk mengingatkan betapa beratnya petani menghasilkan padi dan beras (ingat nasihat orang tua: jangan buang nasi, nanti nasinya nangis!)

Kelima, belajar untuk tinggal, bekerja, dan berbaur dengan orang desa. Hal ini akan menjadi suatu pengalaman dan pembelajaran bagaimana menjadi seorang petani itu. Mahasiswa perlu untuk dibangun semangatnya, kemauan untuk mau berbaur dan bekerja dengan masyarakat dan menumbuhkan empati terhadap masyarakat.

Kelima hal tersebut merupakan pandangan umum yang mungkin bisa untuk dijadikan petunjuk bagi mahasiswa dalam menindaklanjuti permasalahan agraria di Indonesia. Dalam tahap Mahasiswa, hal itu merupakan tahap awal, namun perlu untuk dikonsistenkan dalam tindakan yang tahap demi tahap. Hal ini lebih baik daripada terlalu berkoar dalam retorika bombastis namun bermakna kering. Seperti yang diajarkan Rasulullah untuk jangan hanya melihat ke atas, tapi lihatlah ke bawah. Rasa syukur akan selalu ada bila kita selalu melihat ke bawah, namun akan melahirkan perlawanan bila ‘orang bawah tertindas’. 

Itulah makna perubahan, mengangkat kehidupan kaum lemah dengan memberikan jalan bagi mereka untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Intinya cuma satu kalimat bagi mahasiswa (saya kutip dari Bang Sofyan Sjaf): Belajarlah dari Orang Kecil.

Oleh: Kiagus Muhamad Iqbal (Kabid Pemberdayaan Ummat 2015-2016)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

APA DAN BAGAIMANA SETELAH MASUK HMI? (Sesi Wawancara dengan Ketum HMI Cabang Bogor)

                    Pada kesempatan ini kami sengaja kembali menghadirkan sesi wawancara khusus dengan ketua umum HMI Cabang Bogor periode 2013-2014, Bang Qiki Qilang Syachbudy. Wawancara ini sengaja dilakukan karena banyaknya pertanyaan baik dari kader ataupun masyarakat umum tentang apa dan bagaimana yang harus dilakukan setelah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Berikut adalah wawancaranya.

Pilkada Kabupaten Bogor 2018, HMI Bersikap Netral

Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor, Joni Iskandar, menyampaikan agar seluruh kader HMI cabang Bogor  bersikap netral dalam pemilihan kepala daerah serentak yang akan digelar pada Rabu, 27 Juni 2018. Ajakan tersebut disampaikan di Gedung Serbaguna Mahasiswa Islam (GSMI), sekretariat HMI Cabang Bogor, Selasa (26/06). "Kader HMI harus bersikap netral sebagai bentuk pengejawantahan independensi organisatoris. Tidak dibenarkan jika kader HMI melakukan komitmen dalam bentuk apapun dengan pihak luar, apalagi ikut andil dalam politik praktis memenangkan satu kandidat," ungkap Joni. Dalam kesempatan tersebut Joni juga meminta kepada seluruh penyelenggara pemilu dan pihak keamanan agar menjalankan kewajibannya sesuai amanat yang sudah diberikan. "Kami meminta kepada semua aparatur negara dan pihak keamanan  menjalankan tugasnya dengan baik dalam mengawal pemilu demi terwujudnya Pilkada damai dan bersih," pungkas Joni mengakhiri.

SEKOLAH MENULIS, ARISAN BACA, DAN FLD?

  Judul di atas memang menarik untuk dibahas pada kesempatan ini mengingat kita sama-sama tahu bahwa HMI Cabang Bogor harus terus eksis dalam mencetak kader-kader militan ummat dan bangsa.